REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Pengamat penerbangan Arista Atmadjati meminta pemerintah membuat aturan khusus terkait santunan untuk keluarga korban kecelakaan pesawat. Hal tersebut menurutnya diperlukan karena saat ini masih penyerahan santunan korban kecelakaan pesawat Lion Air dengan nomor penerbangan JT-610 belum juga selesai.
“Rasanya perlu (mengubah regulasi) dan menjadi diatur dalam hal khusus. Kompensasi itu kalau dimasukkan dalam Undang-undang Nomir 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan terlalu global ya,” kata Arista kepada Republika.co.id, Senin (8/4).
Arista menyarankan, pemerintah dapat membuat Peraturan Menteri Perhubungan lebih khusus lagi menganai hal tersebut. Misalnya, kata dia, dalam aturan tersebut juga memasukkan ketentuan tenggat waktu maksimal santunan diberikan kepada keluarga korban.
Begitu juga terkait pengguna aturan ahli waris yang harus dilakukan. “Misalnya Itu harus memakai hukum waris yang unum diatur Undang-undang. Bukan berdasarkan keagamaan nanti ribet lagi,” tutur Arista.
Berkaca pada kasus kecelakaan Lion Air JT-610, Arista mengatakan aturan baru yang lebih khusus tampaknya diperlukan. Dengan begitu dapat mengatasi persoalan yang terjadi hingga saat ini mengenai pemberian kompensasi kepada keluarga korban.
"Iya. Jadi regulator juga harus kencang mendorong juga. Kalau sudah bertele-tele (maskapai terlalu lama memberikan santunan) maka pemerintah harus ikut campur,” ujar Arista.
Salah seorang keluarga korban kecelakaan JT-610 Eka Suganda yakni Merdian Agustin mengharapkan seharusnya pemerintah dapat turun tangan menuntaskan permasalahan tersebut. Sebab sampai saat ini, pihaknya belum mendapatkan santunan dari Lion Air.
“Pemerintah seharusnya tidak abai terhadap aturan yang sudah dibuat dan harus memberikan kepastian hukum kepada kami, rakyatnya,” kata Merdian di Jakarta, Senin (8/4).
Merdian menuturkan setelah enam bulan sejak kecelakaan tragis yang menimpa saudaranya, sebagai ahli waris korban belum mendapatkan kepastian. Hal tersebut terkait pembayaran klaim dari pihak maskapai dan produsen bersangkutan.
Untuk itu, Merdian mengaku bingung, frustasi, dan kecewa dengan situasi tersebut. “Anggota keluarga kami sudah jadi korban dengan cara yang mengerikan, tapi tanggung jawab maskapai dan produsennya tidak jelas sampai sekarang,” ungkap Merdian.
Padahal, menurut Merdian, dalam Pasal 3 huruf a Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 77 Tahun 2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara mengatur hal tersebut. Dalam pasal tersebut, penumpang yang meninggal dunia akibat kecelakaan pesawat udara diberikan ganti rugi sebesar Rp 1,25 miliar.