REPUBLIKA.CO.ID, Dalam kitabnya al-Khilafiyyat, Imam al-Baihaqi memaparkan argumentasi mengapa wudhu harus dilakukan berurutan. Pemilik nama lengkap Abu Bakar Ahmad bin al-Husain bin Ali al-Baihaqi (384-458 H) ini mejelaskan, berwudhu harus dilakukan secara berurutan mulai dari niat hingga membasuh kedua kaki.
Terkait masalah ini, terdapat selisih pandang antara Mazhab Syafi’i dan Hanafi. Menurut Mazhab Syafi’i, wudhu mesti dilaksanakan secara tertib, sistematis, dan berurutan. Dengan demikian, tidak boleh mendahulukan rukun wudhu yang satu dengan lainnya.
Tangan mesti dibasuh setelah muka, dan kaki diseka setelah kepala. Kurang lebihnya demikian. Karena itu, secara tegas dinyatakan dalam Mazhab Syafi’i, tidak boleh wudhu dengan cara acak dan tidak berurutan. Pandangan itu justru bertolak belakang dengan Mazhab Hanafi yang memandang rukun wudhu boleh dipenuhi secara acak.
Al-Baihaqi pun lantas mengemukakan beberapa argumennya. Menurut pandangannya, makna yang tertera dalam ayat tentang amar berwudhu dengan jelas menuntut urutan tersebut. Dan, ini adalah indikasi jelas mengikuti apa yang diperintahkan oleh Allah.
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki.” (QS al-Maidah [5]: 6).
Selanjutnya, al-Baihaqi memaparkan hadis yang memperkuat argumen keharusan mengurutkan tata cara berwudhu. Antara lain hadis yang diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud.
Riwayat itu menyebutkan bahwa Rasulullah SAW bersabda, Mulailah dengan apa yang dimulakan oleh Allah SWT: ‘Sesungguhnya Shafa dan Marwah adalah sebahagian dari syiar Allah’. (QS al-Baqarah [2]: 158).
Hadis itu menegaskan bahwa Rasulullah memulakan sai dengan tertib secara bergantian mulai dari Shafa terlebih dahulu, baru kemudian Marwah. Hadis lain juga menegaskan hal tersebut. Berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Utsman bin Affan.
Tatkala itu Ustman bin Affan berwudhu secara berurutan dan diulang sebanyak tiga kali, mulai dari membasuh kedua telapak tangan, berkumur dan mengirup, lalu mengeluar air dari hidung (istinstar), membasuh wajah, membasuh kedua tangan hingga lengan, mengusap kepala, dan membasuh kaki hingga kedua mata kaki.
Lalu Utsman pun berkata, Aku melihat Rasulullah berwudhu seperti aku berwudhu, Lalu Usman mengatakan, Rasulullah bersabda, Barang siapa yang berwudhu seperti wudhuku, kemudian berdiri dan ruku dua rakaat serta tidak tergoda hawa nafsunya, maka Allah mengampuni dosanya yang telah lewat.
Atas dasar inilah, al-Baihaqi menyatakan bahwa pendapat yang dikemukakan Mazhab Hanafi tidak kuat. Apalagi tidak ditemukan satu pun hadis yang mengisyaratkan bahwa Rasulullah wudhu secara acak dan tidak berurutan.