REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengacara korban kecelakaan pesawat Lion Air JT 61, Harry Ponto mengatakan Boeing Company tidak memberikan perlakuan yang sama rata kepada seluruh korban kecelakaan Boeing dari maskapai Lion Air JT 610 maupun Ethiopian Airlines. Hal tersebut dilontarkan Harry karena Boeing telah memberikan biaya ganti rugi kepada korban warga negara Amerika sedangkan korban dari negara lain termasuk Indonesia belum mendapatkan biaya kompensasi.
“Satu hal yang paling prinsip adalah korban yang berada di Indonesia maupun dari negara lain mempunyai hak sama dengan korban warga negara Amerika,” ujar Harry Ponto kepada wartawan di Jakarta, Selasa (9/4).
Pengacara dari Kantor Advokat Kailimang & Ponto tersebut mengatakan timnya bekerja sama dengan dengan kelompok Advokat di Amerika Serikat untuk menggugat Boeing Company. Harry mengungkapkan sempat ada kendala terkait pengajuan gugatan karena keluarga korban sempat tak ingin meneruskan gugatan karena merasa rakyat kecil dan takut dituntut balik.
Namun, menurutnya, pihak keluarga telah berhasil diyakinkan kembali untuk melanjutkan gugatan.
“Secara hukum kami siap melakukan upaya hukum namun keluarga korban sempat ingin menghentikan karena mungkin kultur di Indonesia, apa yang sudah terjadi mereka ikhlaskan dan mereka takut juga dituntut balik. Namun, kami sudah yakinkan mereka berhak mengajukan tuntutan karena sudah diatur oleh undang-undang,” katanya.
Walaupun peraturan sudah jelas keluarga dipaksa untuk menandatangani Release and Discharge (R&D). Dokumen ini mewajibkan keluarga dan ahli waris melepaskan hak menuntut kepada pihak-pihak yang dianggap bertanggung jawab atas kecelakaan itu. R&D harus ditandatangani sebelum ganti rugi bisa diberikan ke pihak keluarga.
Merdian Agustin, salah satu keluarga korban, berharap permintaan maaf dari Chief Executive Officer (CEO) Boeing, Dennis Muilenburg atas kematian 346 orang dalam kecelakaan Boeing 737 MAX 8 di Indonesia dan Ethiopia pada 4 April lalu dapat menjadi momentum percepatan pembayaran ganti rugi baik dari pihak maskapai maupun pihak produsen.
"Pernyataan CEO Boeing adalah bukti bahwa kematian anggota keluarga kami karena buruknya pesawat 737 Max 8 yang digunakan Lion Air. Kami yakin banyak anggota keluarga korban yang sangat butuh biaya untuk melanjutkan hidup. Jika ganti rugi terus disandera, berarti maskapai merampas hak ahli waris korban," ujarnya.
Harry Ponto menambahkan, bagi keluarga yang sudah terlanjur menandatangani R&D, tim siap mewakili. Bagi yang belum, katanya, ia menganjurkan untuk tidak menandatangani. Tim Kabateck dan Kailimang Ponto akan memperjuangkan hak-hak keluarga sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku, imbuhnya.
Para advokat yang mewakili para keluarga korban tragedi Lion Air menggugat Boeing atas kelalaian yang mengakibatkan kematian (wrongful death). Gugatan ini diajukan di Cook County, negara bagian Illinois, Amerika Serikat lokasi kantor pusat produsen pesawat terbang tersebut.
Menurut tim kuasa hukum Amerika Serikat, Sanjiv Singh, perkembangan kasus kecelakaan seperti Lion belum pernah terjadi sebelumnya. Ini sejarah dalam litigasi, katanya.
Sebab, CEO Boeing telah mengakui tanggung jawabnya sebelum kesimpulan investigasi pemerintah. Ia menambahkan, Boeing harus memberikan kompensasi secepat mungkin kepada keluarga korban di Indonesia dan Ethiopia.
Sanjiv Singh juga menyatakan, kerugian dari kematian orang Indonesia harus ditakar secara sama dengan kerugian dari kematian orang Amerika yang meninggal di Ethiopian Airlines. Menurutnya hal tersebut bisa terjadi jika keluarga korban dari Indonesia ikut bergabung menuntut Boeing di Amerika Serikat.
“Jumlah ganti ruginya akan jauh lebih tinggi dari yang diatur dalam perundang-undangan Indonesia. Keluarga layak menerima ganti rugi dari maskapai dan produsen sekaligus tanpa harus memilih salah satunya,” ujarnya.