REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peraturan Gubernur (Pergub) DKI Jakarta Nomor 31 Tahun 2019 tentang Pembangunan dan Revitalisasi Prasarana Sumber Daya Air Secara Terpadu dengan Konsep Naturalisasi telah diundangkan per 1 April 2019. Hal itu sebagai salah satu solusi jangka panjang Gubernur DKI Jakarta Anies Rasyid Baswedan mencegah banjir di ibu kota.
Plt Kepala Dinas Sumber Daya Air (SDA) DKI Jakarta Yusmada Faizal mengatakan, poin penting Pergub tersebut adalah membangun dan merevitalisasi SDA yang terdiri dari sungai, waduk, maupun embung. Menurutnya, pembangunan harus dilakukan terpadu karena melibatkan konsep tata ruang.
"Pergub 31 itu kita mau membangun, merevitalisasi SDA dengan konsep-konsep natural dan itu pembangunan terpadu, tidak satu unit di sana masuk, harus semua," ujar Yusmada di Gedung DPRD DKI, Jakarta Pusat, Selasa (9/4).
Dalam pergub tersebut, garis besar yang dimaksud dengan naturalisasi adalah pengelolaan prasarana SDA melalui konsep pengembangan Ruang Terbuka Hijau (RTH). Kendati demikian, tetap memperhatikan kapasitas tampung, fungsi pengendalian banjir, serta konservasi.
Pemprov DKI Jakarta melalui Dinas SDA akan melaksanakan pembangunan RTH. Dengan melibatkan juga sejumlah Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) di DKI Jakarta berdasarkan tanggung jawabnya baik dalam pelaksanaan kegiatan maupun pengelolaan dan pemeliharaannya.
"Pergub itu memberikan otoritas kepada Dinas SDA untuk menganggarkan pohon, lampu, trotoar, itu nanti yang dibangun," kata Yusmada.
Nantinya, RTH di DKI Jakarta akan difungsikan sebagai tempat penampungan air atau retarding basin sesuai konsep naturalisasi tersebut. Sehingga air hujan dibiarkan menggenang di RTH dan terserap ke tanah.
Bahkan, air bisa dibendung untuk mengurangi run off dan menambah cadangan air tanah di ibu kota. Sehingga naturalisasi ini akan mengupayakan penahanan aliran air agar air yang mengalir di sungai sesuai dengan kapasitas sungai tersebut.
Menurut Yusmada, konsep naturalisasi maupun konsep normalisasi yang diusung Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung Cisadane (BBWSCC) sama-sama mencegah banjir. Ia menjelaskan, normalisasi itu juga mengembalikan kapasitas sungai agar menampung lebih banyak debit air dengan cara melebarkan sungai.
Sebenarnya, kata dia, dengan konsep naturalisasi pun masih memungkinkan untuk melakukan pelebaran sungai. Akan tetapi, perlu kajian ataupun analisa terlebih dahulu. Sebab, Yusmada mengatakan, jika ingin melebarkan sungai harus membebaskan lahan dan merelokasi warga yang tinggal di bantaran sungai.
"Ketika kita mau melebarkan kali, kita bersentuhan dengan warga, tapi kita melaksanakannya dengan cara-cara manusiawi. Semua urusan kita menangani banjir, tapi penanganannya komprehensif," jelas Yusmada.
Sementara, menurut Pengamat Tata Kota Nirwono Joga, penataan kawasan aliran sungai baik konsep naturalisasi maupun normalisasi bisa diterapkan bersamaan. Perpaduan perkerasan tanggul dengan piel beton agar tidak longsor dan penghijauan bantaran sungai sudah dilakukan di negara lain.
"Di Eropa, Australia, dan Amerika Serikat kedua pendekatan ini dipadukan bersama normalisasi dan naturalisasi," kata Nirwono kepada Republika.co.id, Selasa (9/4).
Ia menjelaskan regulasi dari Peraturan Menteri Nomor 28 Tahun 2018 tentang Penetapan Garis Sempadan Sungai dan Garis Sempadan Danau. Garis sempadan sungai tidak bertanggul di dalam perkotaan berjarak 10 meter dari tepi kiri kanan palung sungai.
Sementara, garis sempadan sungai bertanggul di dalam kawasan perkotaan minimal berjarak tiga meter dari tepi luar kaki tanggul. Sehingga, pendekatan apapun yang akan dilakukan, kata Nirwono, Pemprov DKI harus melebarkan badan sungai agar kapasitas air meningkat.
"Serta memiliki sempadan sungai yang optimal. Ini berarti Pemprov DKI harus menertibkan bangunan permukiman, merelokasi permukiman warga," tutur dia.
Untuk itu, lanjut Nirwono, Pemprov DKI yang dipimpin langsung gubernur harus melakukan sosialisasi rencana penataan bantaran sungai kepada masyarakat setempat. Menurutnya, diperlukan keberanian dan ketegasan gubernur untuk segera melanjutkan penataan sungai.
"Langkah implementasi, peta alur sungai akan memastikan kawasan mana yang masih bisa dilakukan naturalisasi penuh, perpaduan naturalisasi dan normalisasi, dengan seminimal mungkin merelokasi warga," jelas Nirwono.
Ia menambahkan, praktis dua tahun tidak ada kegiatan penataan sungai karena Pemprov DKI belum menjelaskan konsep naturalisasi. Menurut dia, harus dijelaskan secara terperinci mengenai pelaksanannya.
Nirwono juga mengatakan, Pemprov DKI juga seharusnya segera berkoordinasi dengan BBWSCC. Sehingga segera menindaklanjuti kerja sama penataan sungai untuk menghindari banjir.
Menurut dia, berdasarkan Pergub 31/2019 tersebut dengan fokus pembangunan RTH tak melihat peranan Dinas Kehutanan padahal sesuai tupoksinya. Akan tetapi menjadi tugas Dinas SDA. Di sisi lain, ia mengatakan Dinas SDA dan Dinas Kehutanan bisa segera berkoordinasi dengan BBWSCC.
Sementara itu, Kepala BBWSCC Bambang Hidaya pernah mengatakan, pekan ini akan duduk bersama berdiskusi dengan Dinas SDA DKI Jakarta. Untuk membahas visi misi naturalisasi yang dicanangkan Pemprov DKI.
"Minggu depan kami mau duduk bersama dengan Dinas SDA DKI Jakarta, untuk membahas visi misi naturalisasi yang dicanangkan oleh Gubernur DKI Jakarta," kata Bambang, Jumat (5/4) lalu.
Ia menuturkan, konsep naturalisasi belum disampaikan secara tertulis dan lebih terperinci oleh Pemprov DKI. Sehingga, pihaknya ingin mengetahui lebih jelas mengenai program naturalisasi melalui rencana pertemuan tersebut.