REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Direktur Kimia Hilir Kemenperin Taufiek Bawazir menilai, penerapan peraturan daerah (Perda) larangan penggunaan kantong plastik mengganggu iklim investasi. Menurutnya, pemerintah daerah tidak perlu menerbitkan kebijakan tersebut karena akan mengganggu sektor industri.
Selain akan menggangu iklim investasi, Perda Plastik juga dinilai menimbulkan gejolak di sektor industri tersebut. Dia menilai adanya peraturan itu jika diukur berdasarkan sisi lingkungan, harusnya pemerintah daerah memberikan insentif bagi industri daur ulang guna meminimalisasi peredaran plastik di lingkungan.
Sementara yang terjadi, kata dia, belum ada aturan yang mengatur perkara tersebut. Diketahui, Perda Plastik diterapkan di sejumlah wilayah antara lain Kota Bogor, Jakarta, Bekasi, Samarinda, dan Denpasar.
“Jadi meski bentuknya itu cukai, Perda larangan, atau penerapan plastik berbayar sama sekali tidak efektif mengurangi sampah plastik,” kata Taufiek saat dihubungi Republika.co.id, Selasa (9/4).
Berdasarkan catatan Kemenperin, produk domestik bruto (PDB) industri plastik dan karet menghasilkan Rp 92 triliun pada 2018 lalu atau tumbuh 6,9 persen jika dibandingkan tahun sebelumnya. Artinya, kata dia, industri plastik juga memberi kontribusi terhadap ekonomi nasional.
Terkait persoalan ramah lingkungan, Taufiek mengatakan saat ini terdapat industri daur ulang nasional sebanyak 1.500 industri. Untuk itu dia menyarankan kepada semua pihak untuk melihat spektrum isu lingkungan secara luas sebab plastik merupakan komoditas yang bermanfaat dan tidak berbahaya.
Dia menjabarkan, plastik dihasilkan dari peteoleum base dan nafta yang memiliki kelebihan dapat didaur ulang untuk kemanfaatan ekonomi. Setidaknya, kata Taufiek, hampir empat juta pemulung dapat memanfaatkan plastik yang beredar sebagai bahan daur ulang. “Artinya, plastik yang beredar juga punya nilai guna,” kata Taufiek.
Sejauh ini, menurutnya, komoditas plastik belum tergantikan oleh komoditas lain dalam hal penggunaan manfaat. Dibanding alumunium dan kertas, kata dia, penggunaan plastik sebagai kantong belanja masih jauh lebih efisien dan murah. Sementara itu, jika dikaitkan dengan konektivitas lingkungan, subsitusi plastik dari bio sudah banyak diterapkan dengan komposisi hanya satu persen dibanding 99 persen berbasis nafta.
Menurutnya, iklim usaha plastik harus didorong untuk berkembang bukan justru menerapkan kebijakan yang kontraproduktif. Mengacu kepada Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang sampah, kata Taufiek, jika manajemen sampah yang baik dari sektor hulu terlaksana, maka dengan beriringan sektor industri juga bisa menyesuaikan dan meningkatkan produksi.