REPUBLIKA.CO.ID, MELBOURNE -- Seorang warga Melbourne mengungkapkan pelaku penembakan jamaah masjid di Christchurch, Brenton Tarrant, pernah mengirimkan ancaman pembunuhan karena mengkritik kelompok anti-imigran garis keras, United Patriots Front (UPF) pada 2016.
ABC memperoleh bukti percakapan pesan Facebook antara pria yang tak bersedia disebutkan namanya itu dan Tarrant pada Agustus 2016. Tersangka pembunuh massal itu dalam pesan itu mengatakan, "Saya harap suatu hari kamu berhadapan dengan tiang gantungan".
Dalam percakapan itu, Tarrant membela kelompok anti-imigran UPF sebagai "kelompok etno-nasionalis terkemuka di Australia".
"Ketika kamu bicara menentang UPF, kamu bicara menentang hak saya untuk memiliki rumah bagi rakyat dan budaya saya," tulis Tarrant.
"Hal ini membuat kamu telah ditandai," tambahnya.
Tarrant memperingatkan pria itu untuk "memilih kata-kata kamu dengan hati-hati" dan "memikirkan siapa yang kamu hina".
"Saya harap kamu bisa sadar suatu hari dan jika kamu seorang Marxis, saya harap suatu hari kamu berhadapan dengan tiang gantungan."
Penerima ancaman itu mengaku telah melapor ke kantor polisi Eltham di pinggiran Melbourne pada September 2016. Dia menyertakan salinan percakapan FB dan memperingatkan petugas bahwa Tarrant bisa berbahaya.
Menurut dia, saat itu polisi hanya menyarankan untuk memblokir Tarrant di media sosial. Petugas tersebut tidak membuat laporan resmi.
Saat mendengar berita penembakan jamaah masjid di Christchurch, pria itu pun menyadari bahwa dia pernah berurusan terlibat dengan Tarrant beberapa tahun lalu.
"Saya merasa sangat bersalah dan menyesali diri sendiri," katanya kepada ABC.
"Tapi pada saat itu saya kira, hanya saya satu-satunya yang berada dalam bahaya," tambahnya.
Kepolisian Victoria yang dihubungi menjelaskan mereka "tidak dapat menemukan laporan yang dibuat oleh korban pada 2016".
"Meski kami tidak akan berkomentar karena proses pengadilan masih berlangsung di Selandia Baru, kami pastikan warga Victoria bahwa kami terus memantau dan melacak mereka yang menjadi ancaman bagi masyarakat," katanya.
Tiang gantungan
Warga Melbourne itu menambahkan bahwa Tarrant marah padanya setelah dia mengeritik mantan pemimpin UPF dan sosok neo-Nazi di Australia, Blair Cottrell, menjelang aksi demo kelompok itu di Eltham.
Investigasi ABC bulan lalu menemukan bahwa Tarrant pernah menyatakan kesetiaannya kepada Cottrell. Dia bahkan menyebutnya sebagai seorang "Kaisar".
Pesan Facebook itu merupakan yang kedua kalinya Tarrant menggunakan kata "bertemu tiang gantungan" yang ditujukan kepada pengeritik gerakan supremasi kulit putih.
Istilah tersebut sendiri berasal dari sebuah novel bertema supremasi kulit putih, yang menginspirasi kejahatan kebencian dan terorisme, dan terkait dengan eksekusi terbuka untuk para "pengkhianat ras".
Tarrant sendiri belum pernah memiliki hukuman sebelum serangan 15 Maret. Dia juga tidak masuk dalam daftar orang yang dipantau di Australia atau Selandia Baru. Setelah serangan teror yang dia lakukan, badan keamanan dan intelijen di berbagai negara telah meneliti perjalanannya di sejumlah negara Asia dan Eropa .
Bulan lalu, Pemerintah Austria menyatakan Tarrant pernah menyumbang dana dalam jumlah besar kepada kelompok nasionalis kulit putih Identitarian Movement pada 2018.
ABC mengungkapkan tersangka pembunuh massal ini telah mengidentifikasi targetnya dua hari sebelum melakukan aksinya. Dia memposting hal itu pada akun media sosialnya.
Postingan pada 13 Maret 2019 yang berhasil diperoleh meski akun FB-nya telah dihapus, Tarrant memposting foto masjid Al Noor.
Hal itu memicu pertanyaan baru mengenai tindakan yang bisa atau seharusnya diketahui pihak keamanan tentang serangan yang akan terjadi.
Tarrant, yang didakwa atas 50 pembunuhan, akan ditahan hingga 14 Juni dan akan menjalani pemeriksaan kondisi kesehatan mental.
Simak berita lainnya dari ABC Indonesia.