REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Pemerintah Amerika Serikat (AS) memprediksi dalam beberapa bulan mereka dapat menggulingkan Nicolas Maduro dari kursi presiden Venezuela. Mereka yakin dengan sanksi ekonomi dan koalisi 50 negara lebih dapat membuat Maduro turun dari jabatannya. Tapi ternyata hal tersebut tidak terjadi.
Walaupun dihantam sanksi ekonomi Maduro tidak tergoyahkan. Hal itu terutama karena dukungan dan bantuan dari Rusia, Cina, dan Kuba. Meski beberapa sekutu lama AS tidak bergabung dengan koalisi yang mengakui ketua oposisi Juan Guaido sebagai presiden sementara tapi koalisi tersebut berisi 54 negara.
"Kami akan terus mendorong, kami akan mencoba untuk membawa lebih banyak negara ke koalisi 54 dan kami mencoba agar 54 itu memberikan sanksi yang sesuai dengan sanksi Amerika Serikat," kata Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo kepada Komite Senat Bidang Luar Negeri, Kamis (11/4).
Pompeo dijadwalkan akan membawa pesan itu dalam perjalanannya mengunjungi Chile, Paraguay, Peru, dan Kolombia. Empat negara tersebut bergabung dalam 'Lima Group' kelompok negara yang turut mendukung Guaido. Tapi kali ini Pompeo akan meminta mereka untuk melakukan langkah yang lebih jauh lagi untuk membujuk Maduro mundur dan Venezuela dapat menggelar pemilihan umum.
Sejauh ini negara-negara Lima Group menampung ratusan ribu pengungsi yang melarikan diri dari Venezuela yang bangkrut. Pakar Amerika Latin di Wilson Center Benjamin Gedan mengatakan Lima Group sudah lama mengutuk Maduro tapi tidak ada langkah signifikan yang mereka lakukan.
"Lima Group sudah sering mengancam akan memberlakukan sanksi yang terkoordinir tapi belum ada satu pun yang dilakukan dan mereka sudah lelah menjalani jalur diplomatik," kata Gedan.
AS dan negara-negara yang bergabung dalam koalisi 54 tidak mengakui legitimasi Maduro sebagai presiden Venezuela. Menurut mereka, Maduro mencurangi hasil pemilu tahun lalu yang membuatnya menjalani periode kedua.
Rusia, Cina, dan Kuba yang memiliki hubungan ekonomi dan politik yang stabil dengan negara kaya minyak tersebut serta beberapa negara lainnya memilih untuk terlibat dalam perselisihan tersebut. Pada Rabu (10/4), Wakil Presiden AS Mike Pence gagal membawa Dewan Keamanan PBB untuk mengakui Guaido.
Ia mengatakan pemerintahan Trump berniat untuk menggulingkan Maduro melalui jalur diplomatik dan tekanan ekonomi. Tapi berulang kali ia juga mengatakan tidak akan menyingkirkan kemungkinan aksi militer. "Semua opsi ada di atas meja," katanya.
Duta Besar Venezuela Samuel Moncada mengatakan pemerintahan Trump mengancam negaranya dengan perang. "Dan tanah kami sedang diincar untuk invansi, kami harus menghentikan perang Donald Trump ini," kata Moncada.
Kementerian Luar Negeri AS mengatakan tujuan utama Pompeo melalui jalur diplomatik sementara kemungkinan perang disingkirkan. Dalam pernyataan tersebut mereka mengatakan Pompeo akan menggunakan perjalanannya ke empat negara untuk 'merayakan dan menguatkan komitmen terhadap demokrasi dan hak asasi manusia.'
"(Serta) menekankan meningkatnya kesempatan meraih kemakmuran dan keamanan untuk warga kami dan mendukung unjuk rasa yang menuntut demokrasi di Venezuela," kata pernyataan Kementerian Luar Negeri AS tersebut.
Pompeo akan menjadi menteri luar negeri AS pertama yang mengunjungi Paraguay sejak 1965. Ia akan mengakhiri perjalanannya di Cucuta kota Kolombia yang berbatasan dengan Venezuela. Tempat bantuan kemanusiaan AS untuk Venezuela ditimbun karena Maduro tidak membiarkan bantuan tersebut masuk ke negaranya.
Secara pribadi, petinggi-petinggi pemerintah AS menyadari frustasi atas lambatnya upaya menjatuhkan Maduro dan merekrut negara lain untuk bergabung ke koalisi yang ingin menggulingkannya. Namun, hal itu tidak berarti disebabkan karena mereka kurang berusaha.
Pence, Pompeo, dan perwakilan khusus AS untuk Venezuela Elliot Abrams serta pejabat-pejabat AS lainnya sudah melobi banyak negara untuk bersedia masuk ke koalisi anti-Maduro itu. Mereka sudah mengincar beberapa negara terutama sekutu lama AS seperti Italia, Yunani, dan Turki tapi upaya tersebut tidak berhasil.
Tetangga AS seperti Meksiko juga sudah menyatakan tidak bersedia untuk bergabung. Sementara Kuba, Nikaragua, dan Bolivia mendukung Maduro.
Presiden Inter-American Dialogue Michael Shifter mengatakan walaupun AS mendapatkan anggota baru. Mereka juga masih harus berusaha keras mempertahanan koalisi tersebut.
"Pompeo harus menggalang koalisi dan menjawab pertanyaan tentang apakah koalisi itu akan benar-benar berhasil, dia harus mengirim pesan upaya ini akan berjalan sedikit lebih lama dibandingkan yang sudah diperkirakan, tapi Anda harus tetap bertahan di koalisi ini," kata Shifter.
Peneliti di Pusat Studi Amerika Latin dan Masyarakat Latin di American University Michael McCarthy membandingkan ketidaksabaran pendukung Guaido dan para tetangga yang gelisah. Menurutnya, mereka akan mulai bertanya-tanya kapan upaya ini dapat diterjemahkan ke dalam apa yang sudah mereka rancang sebelumnya.
"In masalah tentang mengelola ekspektasi, kesulitan ini akan membutuhkan tekanan yang berkesinambungan dan optimisme dan tanpa jalan yang konkrit, maka basis pendukung oposisi akan kecewa," katanya.