REPUBLIKA.CO.ID, RAMALLAH— Presiden Palestina Mahmoud Abbas menyatakan penerimaannya terhadap pemerintahan baru pimpinan Partai Fatah yang selama ini bersekutu. Struktur pemerintahan ini terdiri dari 22 menteri yang dipimpin Perdana Menteri Mohammad Shtayyeh. Abbas yang mengepalai otoritas Palestina di Ramallah dan Tepi Barat, menerima sumpah jabatan pada Sabtu (13/4) kemarin.
Dalam pemerintahan baru itu, lima menteri dari pemerintahan sebelumnya tetap bertahan, seperti Menteri Luar Negeri Riyad al-Malki, Menteri Keuangan Shukri Bishara, Menteri Informasi Nabil Abu Rudeineh, Menteri Pariwisata Rola Maayaa, dan Wakil Perdana Menteri Ziad Abu Amr. Sementara 17 menteri lainnya adalah pendatang baru. Posisi menteri dalam negeri dan menteri urusan agama sengaja dikosongkan dan dipegang langsung Shtayyeh.
Seperti yang dikutip dari Aljazeera, Ahad (14/3), hanya tiga menteri wanita yang terpilih dalam pemerintahan baru, serupa dengan susunan kabinet pemerintahan sebelumnya. Pemerintah baru Palestina ini, sejatinya telah terbentuk pada Januari lalu, setelah perdana menteri sebelumnya, Rami Hamdallah mengundurkan diri.
Terbentuknya pemerintahan baru menandai berakhirnya upaya rekonsiliasi antara Fatah dan Hamas. Keputusan Abbas untuk menerima pemerintah baru juga memunculkan protes dari Hamas, dan faksi lain di luar Fatah dan PLO. Mengingat selama ini mereka melakukan pemboikotan pemerintahan baru, dan menganggap pemerintahan pimpinan Shtayyeh itu akan meningkatkan perpecahan Palestina.
Nida Ibrahim dari Aljeera melaporkan dari Ramallah, bahwa pemerintah baru memiliki sejumlah masalah mendesak untuk diselesaikan, termasuk situasi ekonomi yang mengerikan. "Bantuan AS telah terputus, dan Israel telah memotong sebagian pajak yang dikumpulkan atas nama Otoritas Palestina," katanya.
"Mereka juga harus berurusan dengan masalah tahanan Palestina di penjara-penjara Israel, 400 di antaranya melakukan mogok makan karena kondisi hidup yang memburuk," sambung Ibrahim.
Sementara itu, dalam sebuah surat yang ditulis pada 10 Maret lalu, Abbas menuliskan penujukkannya pada Shtayyeh untuk membentuk pemerintah baru, sekaligus meminta diadakannya pemilihan legislatif di Tepi Barat, Yerussalem, dan Gaza.
Namun tidak menginginkan diadakannya pemilihan presiden. Padahal, pria 83 tahun itu telah menjabat sebagai presiden selama 14 tahun (sejak 2005), walaupun jabatan sebagai presiden hanya berlangsung selama empat tahun saja.
Sebuah jajak pendapat publik yang dilakukan oleh Pusat Penelitian Kebijakan dan Survei Palestina (PSR) pada Maret lalu, menemukan bahwa 72 persen warga Palestina di Tepi Barat dan Gaza menginginkan diadakannya pemilihan presiden dan legislatif secara serentak.