REPUBLIKA.CO.ID, AMBALAVAO – Wabah campak telah menewaskan 1.200 orang di Madagaskar yang sebagian besar melanda anak-anak dan balita. Madagaskar menghadapi wabah campak terbesar dengan kasus yang melonjak melampaui 115 ribu.
Di Madagaskar, banyak orang tua ingin melindungi anak-anaknya tetapi mereka menghadapi tantangan besar termasuk kurangnya sumber daya. Hanya 58 persen orang di pulau utama Masagaskar telah divaksinasi campak.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan, wabah campak telah menewaskan sebagian besar anak-anak di bawah usia 15 tahun sejak September lalu.
"Sayangnya epidemi terus berkembang, meski pada kecepatan yang lebih lambat dari sebulan lalu," ujar Ahli Epidemiologi WHO, Dossou Vincent Sodjinou, Ahad (14/4).
Kementerian Kesehatan Madagaskar mencatat, pada pertengahan Maret terdapat 117.075 kasus campak yang dilaporkan. Beberapa kasus merupakan resistensi terhadap vaksinasi, sedangkan beberapa lainnya karena pengaruh agama atau berada di daerah yang terisolasi.
Epidemi tersebut diperparah dengan adanya kekurangan gizi yang dialami oleh hampir 50 persen anak-anak di Madagaskar. "Malnutrisi adalah penyebab campak," kata Sodjinou.
Kementerian Kesehatan Madagaskar telah mengirim obat-obatan gratis ke daerah-daerah yang terkena wabah campak. Campak merupakan penyakit yang sangat menular dan menyebar melalui batuk, bersin atau melakukan kontak langsung. Gejala-gejala campak masih dapat dicegah melalui pemberian obat agar tidak terjadi komplikasi.
"Vitamin A diberikan kepada anak-anak untuk meningkatkan kekebalan mereka. Kami berusaha mengungsi demam. Jika ada batuk, kami memberikan antibiotik," ujar perwakilan WHO, Dr. Boniface Maronko yang dikirim ke Masagaskar untuk mengawasi upaya penanggulangan wabah campak.
Maronko mengingatkan kepada para kepala pusat kesehatan di wilayah Ambalavao agar memberikan obat-obatan secara gratis. Maronko khawatir obat-obatan yang dikirim tersebut tidak dapat mencukupi.
Salah satu warga Masagaskar, Lalatiana Ravonjisoa memiliki lima anak yang terkena campak. Penjual sayur di distrik miskin ini sedang berduka untuk bayinya yang berusia lima bulan.
"Saya punya lima anak, mereka semua menderita campak. Untuk yang terakhir, saya tidak pergi ke dokter karena saya tidak punya uang. Saya memberi bayi saya obat sisa dari kakaknya untuk menurunkan demam," ujar Ravonjiosa.
Selama beberapa hari Ravonjiosa tidak khawatir, karena kondisi bayinya membaik. Tapi suatu pagi, dia menyadari bahwa bayinya mengalami kesulitan bernapas dan kakinya telah dingin.
Ravonjiosa menyalahkan dirinya atas kematian bayinya tersebut. "Saya tidak membayangkan dia akan meninggal dunia," ujarnya.
Dokter memastikan, bayi Ravonjiosa meninggal dunia karena komplikasi pernafasan karena campak.
Akhir bulan lalu, WHO memulai kampanye vaksinasi campak massal ketiga di Madagaskar dengan target 7,2 juta anak usia enam bulan hingga sembilan bulan.