Senin 15 Apr 2019 10:34 WIB

Perang Dagang UE-AS Berpotensi Hambat Ekspor Indonesia

Afrika dan Asia Tengah dapat menjadi target yang disasar untuk meningkatkan ekspor

Rep: Adinda Pryanka/ Red: Nidia Zuraya
Ekspor-impor (ilustrasi)
Ekspor-impor (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat ekonomi internasional dari Universitas Indonesia Fithra Faisal menilai, suasana perdagangan yang dingin antara Uni Eropa (UE) dengan Amerika Serikat (AS) tidak akan berdampak signifikan pada ekonomi Indonesia. Sebab, Indonesia masih banyak tergantung oleh sumber daya domestik atau konsumsi rumah tangga.

Tapi, Fithra menekankan, kondisi global tersebut tentu akan berpengaruh pada upaya pemerintah dalam menggenjot ekspor untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Tujuannya, agar tidak terjebak di level lima persen.

Baca Juga

"Untuk mencapainya, butuh dorongan lebih dari ekspor dan investasi yang berasal dari hubungan kita dengan partner dagang, termasuk UE dan AS," tuturnya saat dihubungi Republika, Ahad (14/4) malam.

Fithra menambahkan, situasi yang bisa disebut sebagai perang dagang antara UE dengan AS ini tentunya akan sangat mengganggu prospek untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi ke depan. Khususnya dari sisi perdagangan internasional dan investasi.

Namun, Fithra menilai, permasalahan itu bukan tantangan tanpa solusi bagi Indonesia. Perdagangan kita masih punya potensi mengembangkan pasar ekspor ke mitra dagang non tradisional. Ini seiring dengan target pemerintah melalui Kementerian Perdagangan dan arahan Presiden Joko Widodo untuk ekspansi akses negara tujuan ekspor.

Fithra menyebutkan, Afrika dan Asia Tengah dapat menjadi target yang disasar. Misalnya saja Nigeria, Angola, Pantai Gading hingga Ethiopia yang memiliki pertumbuhan ekonomi delapan sampai sembilan persen. "Di Asia Tengah sendiri ada Uzbekistan, Ukraina, sampai ke Polandia dan Rusia yang dapat kita eksplorasi," katanya.

Fithra menambahkan, dampak dari perang dagang UE dan AS tidak akan lebih signifikan dibanding dengan konflik AS dengan China beberapa waktu terakhir. Apabila kemarin hasil simulasi AS dan China mampu membuat pertumbuhan ekonomi kita berkontraksi 0,1 sampai 0,2 persen, dampak UE dengan AS akan jauh lebih kecil dari itu.

Salah satu penyebab minimnya dampak tersebut adalah peranan UE yang tidak sebesar China terhadap perdagangan Indonesia. Sementara Negeri Panda merupakan pasar terbesar untuk ekspor Indonesia di samping AS, UE berada di luar peringkat 10 besar.

Fithra mengatakan, adapun yang dicemaskan saat ini adalah dampak dari AS. Efek perang dagang dengan China membuat Negeri Paman Sam sudah berpotensi kontraksi pertumbuhan ekonomi mereka. "Hubungan dengan UE berpotensi percepat gelombang resesi mereka," ucapnya.

Kekhawatiran terjadinya resesi di Amerika Serikat (AS) muncul setelah kurva yield obligasi pemerintah AS mengalami kondisi terbalik (inverted yield curve). Kurva obligasi jangka pendek seperti tiga bulan hingga 2,5 tahun mengalami peningkatan dibandingkan dengan jangka panjang (10 tahun). Menurut Fithra, ini kejadian pertama dalam sepuluh tahun terakhir dan menjadi salah satu ciri resesi.

Di sisi lain, AS juga memiliki hubungan memburuk dengan negara manufaktur seperti Meksiko dan Kanada yang berpotensi meningkatkan ongkos produksi di AS. Dampaknya, tingkat pengangguran diprediksi meningkat.

Kondisi tersebut, Fithra mengatakan, berdampak buruk terhadap global terutama negara berkembang. "Sebab, akan memicu capital outflow setelah melihat volatilitas dari kemungkinan resesi," ujarnya.

Sebelumnya, Komisi Uni Eropa (UE) telah menyusun daftar produk impor Amerika Serikat (AS) senilai 20 miliar euro atau 22,6 miliar dolar AS yang akan dikenakan tarif. Kebijaan ini sebagai bentuk balasan atas ancaman Presiden AS Donald Trump yang ingin menaikkan tarif bea masuk produk Eropa, termasuk terhadap Airbus.

Dilansir di Japan Times, Ahad (14/4), Trump mengancam pengenaan tarif senilai 11 miliar dolar AS terhadap produk Uni Eropa pada Selasa (9/4). Ancaman disampaikan Trump setelah melihat adanya subsidi tidak adil yang diberikan kepada pembuat pesawat terbang Airbus dari Eropa.

Komisi UE mengatakan, mereka telah memulai persiapan untuk penanggulangan dalam mengatasi kasus Boeing sejak awal pekan lalu. Tapi, mereka masih mengisyaratkan ada kemungkinan untuk berbicara secara terbuka dengan AS asalkan tanpa prasyarat dan bertujuan mencapai hasil yang adil.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement