REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Gelaran pemilihan umum (pemilu) tinggal beberapa hari lagi. Untuk itu, seluruh elemen bangsa diminta untuk menjaga kerukunan dan meningkatkan semangat saling bertoleransi. Hal itu disampaikan Utusan Khusus Presiden untuk Dialog dan Kerjasama Antaragama dan Peradaban (UKP-DKAP), Prof Syafiq A Mughni.
Dalam kesempatan diskusi di Gedung Sekertariat Negara, Jakarta, hari ini, dia menegaskan adanya pekerjaan besar yang menanti siapapun presiden terpilih kelak. Untuk itu, dia berharap, presiden terpilih akan mampu mendorong harmoni antarumat beragama serta menggiatkan kerja sama antarlembaga dan organisasi agama. Dalam konteks keumatan, sosok pemimpin untuk RI periode 2019-2024 diharapkan mampu mendorong kerja sama, dialog, serta membumikan Islam kebangsaan (wasatiyah).
Menurut Syafiq, masyarakat Indonesia sangat beragam, baik dari segi agama maupun pemahaman. Maka dari itu, perlu adanya dialog yang bertujuan menyatukan, bukan memperuncing perbedaan.
“Makanya perlu kita tingkatkan prinsip-prinsip toleransi dan keberagaman. Dan kalau benar bisa dikembangkan, maka Indonesia bisa lebih cepat menjadi negara maju,” ujar Prof Syafiq A Mughni di Kantor UKP-DKAAP, Gedung Sekretariat Negara, Jakarta, Senin (15/4).
Saat ini, Indonesia masih perlu berfokus pada beberapa hal. Dia menyayangkan, orang-orang yang menggunakan nama agama sebagai tameng untuk aksi intoleran. Menurut dia, sejatinya agama adalah pemersatu. Dalam konteks Islam, misalnya, sudah seyogianya kebanyakan Muslim Indonesia berpaham Islam Rahmatan lil Alamin.
Soal Pemahaman Beragama
Dia mencontohkan, dalam konteks memahami agama, ada tiga tipe kelompok masyarakat. Pertama, kelompok fundamentalis. Mereka dinilainya sebagai orang-orang yang menginginkan hukum agama berjalan sesuai pemikiran yang mereka, yang memahami secara tekstual.
“Jadi mereka mengukur apakah negara itu islami atau tidak itu harus sesuai seperti apa yang tertera di buku atau kitab yang mereka baca,” ujar Syafik.
Kedua, kelompok yang diistilahkannya "akomodasionis." Mereka dianggapnya menerima seluruh kebijakan dan peraturan perintah tanpa banyak kritik. Bahkan, hampir tanpa melihat hal itu apakah sesuai syariat atau tidak.
Ketiga, kelompok reformis. Mereka inilah yang ingin memperbaharui dan memperbaiki peraturan dan kebijakan secara bertahap, supaya bisa semakin dekat dengan semangat syariat.
Biasanya, lanjut dia, para reformis harus menafsirkan ulang apa makna syariah yang relevan dengan kondisi negara. Yang terpenting adalah semangat dari syariah itu bisa berjalan dan dibangun secara bertahap, jelas dia.
“Alhamdulillah sebagian besar kita sudah bisa menerima perbedaan-perbedaan itu,” lanjut Syafik.