REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ekonom Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Rusli Abdullah mengatakan, pendataan produksi pangan di Indonesia merupakan sebuah permasalahan yang belum diselesaikan pemerintah sejak lama. Hal ini disebabkan oleh data pangan belum dipandang sebagai sebuah urgensi.
Rusli mengatakan, pendataan produksi menjadi penting karena produk pangan masih menjadi salah satu pengeluaran terbesar untuk konsumsi rumah tangga. Sehingga, harga yang volatile akan mempengaruhi daya beli masyarakat dan berujung pada investasi. "Apabila data nggak jelas, otomatis komponen ini akan semakin liar karena pemerintah tidak ada validasi mengatasinya," ucapnya ketika dihubungi Republika.co.id, Senin (15/4).
Di sisi lain, Rusli menambahkan, data pangan dapat menjadi acuan pemerintah untuk menentukan kebijakan impor pangan seiring siklus pangan. Contohnya, ketika pada semester kedua tahun lalu, ketika data beras Badan Pusat Statistik (BPS) mengalami defisit 2,1 juta ton. Saat itu, terjadi konsumsi 14,9 juta ton, sedangkan produksinya 12,8 juta ton.
Tidak hanya dari segi kuantitas, Rusli menjelaskan, penggunaan data untuk kebijakan impor juga membantu pemerintah terkait timing impor. Dampaknya, pemerintah dapat lebih melakukan mitigasi kenaikan harga. "Ketika sudah menunjukkan kenaikan di tahap awal dan produksi menurun, bisa impor atau melakukan upaya lain," katanya.
Rusli mengakui, pendataan pangan bukanlah pekerjaan mudah. Hal ini terlihat dari pengumpulan data beras dengan metode Kerangka Sampel Area (KSA) yang sudah dimulai pada 2015 dan dipublikasikan pada 2018. Pada 2016 dan 2017, data luasan lahan sawah dan produksi sawah hanya dikeluarkan satu pihak, yakni Kementerian Pertanian, dengan metode berbeda.
Terkait jagung, Rusli menilai, tantangannya akan lebih besar. Luasan sawah cenderung berbentuk hamparan dan lebih luas, sehingga dapat terlihat di satelit. Sedangkan, luasan lahan jagung lebih sedikit, sehingga untuk menangkapnya akan sulit. "Saya rasa lebih dari tiga tahun," katanya.
Meski sulit, Rusli mengatakan, pemerintah tetap harus segera mengeksekusi pendataan produksi pangan. Bahkan, kalau bisa, anggaran untuk pendataan ini dapat ditambah. Sebab, opportunity cost ketika data tidak valid adalah harga pangan naik sehingga menyebabkan inflasi yang berdampak pada perlambatan pertumbuhan ekonomi Indonesia.