REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Pengembangan budi daya ikan masih memiliki beberapa tantangan. Menurut Sekretaris Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Jabar Dede Suhendar, ada beberapa tantangan yang dihadapi nelayan tatkala melakukan budidaya. Salah satunya, meminimalisir ketergantungan dari pakan pabrikan yang harganya relatif tinggi.
Oleh karena itu, menurut Dede, harus ada fokus dalam pengembangan pakan mandiri tersebut guna meningkatkan pendapatan pembudidaya. Tak terkecuali terkait penyediaan bahan baku yang terjangkau.
"Pakan mandiri juga jalannya bisa tersendat karena bahan bakunya terbatas," ujar Dede kepada wartawan, Selasa (16/4).
Dede mengatakan, keterbatasan bahan baku menjadi salah satu tantangan mengoptimalkan pakan mandiri. Terlebih, ada beberapa yang ketersediaannya masih dikuasai oleh pihak-pihak tertentu.
"Seperti dedak, itu kan terbatas dan itu nanti bisa ditelusuri mungkin tataniaga dedak juga di beberapa daerah ada yang terkuasai oleh pihak-pihak tertentu," katanya.
Selain itu, kata dia, nelayan juga masih ketergantungan kepada produk impor, terutama untuk meningkatkan kebutuhan protein pakan mandiri. Mengingat sejauh ini, untuk protein tersebut cenderung masih mengandalkan tepung ikan dari luar negeri yang harganya pun tinggi.
"Kalau pun kita mau pembuatan silase, misalkan dari ikan rucah terus di fermentasi tapi kan bahan baku untuk fermentasinya juga terbatas. Ikan rucah itu kan kalau di kita dimakan juga oleh masyarakat. Jadi berebut," paparnya.
Saat ini, kata Dede, belum didapatkan sumber protein sejenis tepung ikan. Sedangkan, untuk budidaya dibutuhkan protein yang tinggi, khususnya untuk udang. Berbeda halnya dengan ikan air tawar yang memang tak memerlukan protein terlalu besar.
"Kalau ikan air tawar ya protein di bawah 30 (persen) juga masih bisa," katanya.
Dede memastikan, permasalahan bahan baku pakan mandiri salah satunya dapat diatasi dengan memaksimalkan inovasi teknologi. Misalnya dengan pemanfaatan eceng gondok, yang sejauh ini masih dikembangkan.
"Sebetulnya gulma kan banyak ditemui, enggak sulit didapatkan. Tapi memang harus ada fokus ya untuk pengembangan pakan mandiri ini," katanya.
Pendapatan nelayan, kata dia, boleh dibilang sangat tinggi. Hanya saja, sejajar dengan pengeluaran yang harus dikeluarkan ketika melakukan budidaya maupun menangkap ikan di laut.
"Nelayan sebetulnya kalau dihitung itu pendapatannya tinggi, ya. Cuma, pengeluarannya juga tinggi," katanya.
Selain itu, kata dia, nelayan harus mengeluarkan lebih dari 50 persen pendapatannya untuk biaya produksi atau operasional, seperti Bahan Bakar Minyak (BBM). Hal tersebut serupa dengan budidaya, di mana sekitar 60 persen biaya untuk pakan.
"Harga BBM kan itu sama dalam budidaya seperti pakan, itu 60 persen cost untuk BBM. Kan harganya tinggi," katanya.
Berdasarkan data 2017, kata Dede terdapat 128,041 nelayan di Jawa Barat. Hal itu terbagi dari 81,720 nelayan penuh, sebanyak 38,577 nelayan sambilan utama, sebanyak 7,774 nelayan sambilan tambahan. Di antaranya terdapat di Kabupaten Indramayu 47,268 nelayan, Kabupaten Cirebon 17,395 nelayan, Kabupaten Sukabumi 10,386 nelayan, Kabupaten Tasikmalaya 10,239 nelayan dan Kabupaten Karawang 7,527 nelayan.