Selasa 16 Apr 2019 18:02 WIB

Dewan Keamanan PBB Kecam Rencana Serangan Taliban

Rencana serangan ofensif Taliban akan membuat warga Afghanistan makin menderita.

Rep: Puti Almas/ Red: Ani Nursalikah
Petempur Taliban berkumpul bersama warga di distrik Surkhroad, Provinsi Nangarhar, Kabul, Afghanistan, Sabtu (16/6).
Foto: AP Photo/Rahmat Gal
Petempur Taliban berkumpul bersama warga di distrik Surkhroad, Provinsi Nangarhar, Kabul, Afghanistan, Sabtu (16/6).

REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Dewan Keamanan PBB mengecam rencana Taliban untuk meluncurkan serangan ofensif terbaru di Afghanistan. Semua pihak di negara itu diminta untuk menahan diri, demi mencapai penyelesaian secara politis.

Dalam sebuah pernyataan pada Senin (15/4), Dewan Keamanan PBB mengatakan rencana serangan ofensif tersebut akan semakin menimbulkan penderitaan bagi warga Afghanistan. Bahkan, tak menutup kemungkinan bahwa rencana itu berdampak kehancuran secara luas untuk masyarakat di negara Timur Tengah itu.

Baca Juga

Pernyataan itu dibuat dengan suara bulat oleh Dewan Keamanan PBB yang terdiri dari lima negara anggota tetap, yaitu Cina, Rusia, Inggris, Prancis, dan Amerika Serikat (AS). Sementara, negara anggota tidak tetap dewan tersebut diantaranya adalah Belgia, Pantai Gading, Republik Dominika, Guinea Ekuatorial, Jerman, Indonesia, Kuwait, Peru, Polandia, dan Afrika Selatan.

"Dewan keamanan PBB meminta semua pihak dalam konflik untuk mengambil kesempatan untuk memulai dialog dan negosiasi intra-Afghanistan inklusif, yang menghasilkan penyelesaian politik," menurut pernyataan tersebut dilansir Press TV, Selasa (16/4).

Taliban mengumumkan rencana serangan ofensif terbaru pada Jumat (12/4) lalu. Beberapa jam setelah pengumuman tersebut, serangan di dekat Kunduz, kota di utara Afghanistan, serta Ibu Kota Kabul terjadi, menewaskan sedikitnya sembilan orang dan puluhan lainnya terluka.

Serangan terjadi di tengah keterlibatan Taliban dalam pembicaraan menuju perdamaian dengan Amerika Serikat (AS), menjelang putaran negosiasi selanjutnya. Dalam pembicaraan pada bulan lalu, masing-masing pihak menyebut adanya kemajuan.

Proses perundingan selanjutnya dijadwalkan untuk digelar pada akhir bulan ini di Qatar. Meski demikian, Taliban masih menolak untuk bernegosiasi dengan Pemerintah Afghanistan yang dipimpin oleh Presiden Ashraf Ghani.

Selama lima tahun menguasai tiga perempat wilayah di Afghanistan, pemerintahanan yang dipimpin Taliban berakhir dengan adanya invasi AS ke negara itu pada 2001. Namun, 18 tahun kemudian, AS melakukan gencatan senjata dengan kelompok militan tersebut, yang masih menguasai sejumlah wilayah.

Taliban masih sering meluncurkan serangan yang menargetkan pasukan keamanan Afghanistan serta warga sipil. Situasi di negara itu juga diperburuk dengan kehadiran Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) yang memanfaatkan situasi konflik dan membangun basis di wilayah timur dan utara.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement