REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Filantropi muncul dan tumbuh bersamaan dengan perkembangan peradaban manusia. Aksi kepedulian terhadap sesama tersebut ada yang terlembagakan oleh negara ataupun bersifat nonformal yang dikoordinasikan oleh masyarakat. Keberadaan institusi ini memiliki peran dan fungsi strategis, tak terkecuali mendukung kinerja pemerintah dalam upaya pemberdayaan masyarakat.
Sepanjang sejarah, aksi solidaritas kepada dhuafa dan mereka yang memerlukan itu didominasi kalangan pria. Namun, ternyata tercatat pula sejumlah nama perempuan yang ikut andil mendirikan lembaga sosial. Sayyidah Syaghab membuktikan hal itu.
Ibunda kandung dari Khalifah Dinasti Abbasiyah, al-Muqtadir Billah, itu disebut-sebut sebagai sosok perintis lembaga wakaf dari kalangan kaum Hawa. Selama sang anak berkuasa sepanjang 295-320 H/ 908- 938 M, ia menjadi keluarga khalifah dari golongan perempuan pertama yang membuka pelayanan publik di bidang sosial.
Kekayaan harta yang dimiliki tak membuat ibu suri yang berasal dari kalangan dayang istana itu tenggelam dalam gemerlap duniawi. Dikisahkan, hartanya melimpah berupa intan dan permata serta emas berlian. Untuk pengelolaan kekayaannya itu, ia menunjuk sejumlah petugas administrasi dan accountingyang disimpan di Irak. Nasib dayang istana tersebut memang cukup beruntung. Kehidupannya berubah saat ia dipersunting oleh Khalifah al-Mutawakkil (205-247 H/847-861 M), ayahanda al-Muqtadir.
Komitmennya terhadap kelompok marjinal dan tak mampu itu terbukti dengan banyak lembaga wakaf yang ia dirikan di berbagai sudut kota hingga pelosok pedesaan. Ia menugaskan para pegawai istana dan menggaji mereka untuk mengemban tugas mulia tersebut. Layanan yang diberikan meliputi kesehatan, pemenuhan bahan pokok, bantuan pelunasan utang piutang, dan aksi filantropi lainnya.
Lembaga wakaf menyalurkan bantuan pula bagi para peziarah Makkah dan Madinah. Perempuan yang memiliki julukan Ummu Gharib ini berkeyakinan bahwa wakaf merupakan manifestasi pribadi yang takwa. Ia pun berharap, dengan aktivitasnya itu namanya akan tetap kekal seabadi pahala wakaf yang ia garap.
Tak hanya piawai di bidang filantropi, ibunda al-Muqtadir itu juga mempunyai antusiasme tinggi atas tercapainya keadilan bersama bagi masyarakat. Ia mendirikan tribun khusus untuk pengaduan warga. Ini ditempuh untuk memenuhi rasa keadilan masyarakat. Syaghab pun menunjuk sederet asisten perempuan di istana sebagai hakim.
Awalnya, niatan baiknya tak diterima mulus oleh warga. Ia bahkan mendapatkan kecaman karena melibatkan perempuan dalam peradilan. Tribun pengaduan masyarakat itu pun sepi peminat. Syaghab membaca kondisi ini secara cermat, dengan sigap mendaulat Abu al-Hasan agar menduduki posisi hakim. Solusinya itu berbuah manis. Pusat pengaduan itu pun akhirnya ramai dan menjadi rujukan berbagai kalangan dalam rangka mencari keadilan.