REPUBLIKA.CO.ID, CHRISTCHURCH — Seorang advokat untuk kaum muda Muslim mengeluhkan kurangnya layanan kesehatan mental pada korban terorisme di dua masjid di Christchurch, Selandia Baru.
Padahal, layanan kesehatan mental menjadi wadah menyuarakan perasaan, kebutuhan, dan suara dari kaum muda Muslim di Christchurch. Tujuannya, agar mereka segera pulih dari serangan terorisme yang terjadi sebulan lalu.
Seperti dilansir di Tvnz.com pada (16/4), sekitar 50 kaum muda berbicara tentang dukungan yang dibutuhkan untuk mereka. Seorang advokat bagi kaum muda Muslim, Guled Mire, adalah salah satu pendiri Third Culture Minds. Dia mengungkapkan kekhawatiran ihwal tidak adanya layanan cukup spesifik secara budaya terhadap kaum muda Muslim.
Dia beranggapan akses pada kesehatan mental merupakan masalah yang mempengaruhi banyak komunitas di seluruh Selandia Baru.
Komunitas itu khawatir tidak ada orang yang dapat beresonansi dan memahami pengalaman mereka, karena pandangan dunia tentang Muslim. Padahal, perlu ada diskusi ihwal bagaimana keadaan kaum muda Muslim, serta bagaimana menjembatani kesenjangan.
“Tidak ada informasi (kondisi mereka), ini tidak terekam dengan baik. Data ini sangat penting, dan kami bahkan tidak memiliki statistik itu,” kata Mire.
Beberapa orang dari komunitas Muslim itu berasal dari latar belakang pengungsi. Mereka sangat trauma atas aksi terorisme sebulan lalu. Sebenarnya, Muslim jauh lebih rentan dalam hal itu, karena ada banyak informasi yang tidak mereka ketahui.
Aktivis Muslim, Nada Tawfeek, mengatakan dalam komunitas Muslim, seperti di sebagian besar masyarakat, ada stigma yang melekat pada kesehatan mental yang buruk.
“Komunitas itu, saat ini, benar-benar perlu memecahkan stigma itu dan mereka perlu mencari bantuan kesehatan mental dalam bentuk apa pun,” ujar dia.
Salah satu dokter yang biasa bertugas di pengungsian, dr Ann Hood memiliki pengalaman beragam dalam menangani trauma dari beragam latar belakang.
Menurut dia, layanan kesehatan mental yang responsif secara budaya sangat penting bagi penyintas.
“Adalah penting bahwa seorang konselor memahami, menghargai, dan mengakui bahasa, agama, posisi budaya, dan dalam kasus Christchurch saat ini, tanggapan terhadap kematian dan duka,” kata Hood.
Dia mengatakan, memvalidasi pandangan dunia seseorang dapat membuat koneksi dan membangun hubungan yang lebih baik. Karena itu, menurut dia, hal itu yang paling dibutuhkan penyintas. Orang-orang muda sering membutuhkan dukungan khusus.
Warga Wellington memeluk umat muslim di Masjid Wellington saat pelaksanaan salat Jumat pertama pascapenembakan di dua masjid kota Christchurch pada Jumat (15/3) di Kilbirnie, Wellington, Selandia Baru, Jumat (22/3/2019).
Hood mengatakan, anak muda memiliki dua dunia, yakni berjalan di dunia orang tua dan teman-teman.
Pada satu sisi, mereka ingin mendukung dan menghormati warisan budaya sendiri. Namun, mereka juga ingin berintegrasi dengan Selandia Baru.
Pendiri lain dari Keragaman Konseling Selandia Baru, Vanisri Mills mengatakan layanan perlu dilakukan terhadap anak muda yang dirujuk pada lembaga tersebut.
“Sangat penting menciptakan lingkungan atau komunitas tempat anda merasa aman, dan merasa memiliki, itu sangat penting bagi anak-anak yang lebih muda,” ujar dia.
Selama ini, menurut dia, banyak hambatan mengakses konseling. Hal itu diperparah dengan hambatan bahasa dan kurangnya pemahaman budaya.
Manajer umum Dewan Kesehatan Kabupaten (DHB) Canterbury, Toni Gutschlag, mengatakan menghilangkan hambatan untuk perawatan kesehatan mental telah menjadi prioritas sejak penembakan di Christchurch.