REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Mantan Sekretaris Jenderal Partai Golkar, Idrus Marham mengaku kecewa karena sidang putusan kasus penerimaan suap proyek PLTU Riau-1 terhadap dirinya. Sedianya, Idrus menjalani sidang putusan pada Selasa (16/4).
Ketua majelis hakim, Yanto menjelaskan, alasan penundaan pembacaan vonis dikarenakan dua anggota majelis hakim harus pulang ke kampung halaman pada Selasa (16/4) sore untuk memberikan hak suaranya dalam pemilu serentak pada Rabu (17/4). "Kalau saya tahu saya tidak bakal datang," kata Idrus di PN Tipikor Jakarta Pusat, Selasa (16/4).
Meski begitu, Idrus mengaku tetap menghormati proses hukum yang berlaku. Terlebih, penundaan sidang karena hakim ingin menggunakan hak pilihnya di Pemilu 2019.
"Dari awal itu saya menghormati seluruh proses yang ada. Penundaan ini adalah menjadi kewenangan majelis tentu ada juga dan penasihat hukum saya tadi maka ya saya ikut saja bagaimana proses-proses yang ada ini," ucapnya.
Sebelumnya, mantan Sekjen Partai Golkar Idrus Marham dituntut 5 tahun penjara oleh JPU KPK. Idrus terbukti menerima suap Rp 2,25 miliar dari Johannes Budisutrisno Kotjo terkait proyek PLTU Riau-1.
Dalam tuntutannya, mantan Sekertaris Jenderal Partai Golkar itu terbukti menerima suap Rp 2,250 miliar. Uang tersebut diberikan oleh pengusaha sekaligus salah satu pemegang saham Blackgold Natural Resources Limited, Johannes Budisutrisno Kotjo.
Masih dalam tuntutan, uang tersebut diduga agar mantan Wakil Ketua Komisi VII Eni Maulani Saragih membantu Kotjo mendapatkan proyek Independent Power Producer (IPP) Pembangkit Listrik Tenaga Uap Mulut Tambang (PLTU) Riau 1. Proyek tersebut rencananya akan dikerjakan PT Pembangkitan Jawa Bali Investasi (PT PJBI), Blackgold Natural Resources dan China Huadian Engineering Company Ltd yang dibawa oleh Kotjo.
Awalnya, Kotjo melalui Rudy Herlambang selaku Direktur PT Samantaka Batubara mengajukan permohonan dalam bentuk IPP kepada PT PLN Persero terkait rencana pembangunan PLTU.Namun, karena tidak ada kelanjutan dari PLN, Kotjo menemui Ketua DPR sekaligus Ketua Umum Partai Golkar saat itu yakni Setya Novanto.
Kepada Novanto, Kotjo meminta bantuan agar dapat dipertemukan dengan pihak PLN. Menyanggupi permintaan Kotjo, Novanto mengenalkan Kotjo dengan Eni yang merupakan anggota Fraksi Golkar yang menaungi Komisi VII DPR, yang membidangi energi. Setelah itu, Eni pun melakukan pertemuan antara Kotjo dan pihak-pihak terkait, termasuk Direktur Utama PLN Sofyan Basir.
Hal itu dilakukan Eni untuk membantu Kotjo mendapatkan proyek PLTU. Menurut jaksa, penyerahan uang dari Kotjo kepada Eni atas sepengetahuan Idrus Marham. Saat itu, Idrus menjabat sebagai Pelaksana Tugas (Plt) Ketua Umum Golkar, lantaran Setya Novanto tersangkut kasus korupsi pengadaan KTP-elektronik (KTP-el).
Adapun dalam pertimbangan Jaksa KPK terdapat hal yang meringankan dan memberatkan. Untuk yang meringankan, Idrus bersikap sopan selama persidangan. Ia juga belum pernah dipidana.
Selain itu, Idrus tidak menikmati hasil pidana yang dilakukan. Sementara hal yang memberatkan, jaksa menilai perbuatan Idrus tidak mendukung pemerintah dalam memberantas korupsi.