REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Mochamad Afifuddin, mengatakan, pihaknya telah menindak 25 kasus politik uang selama masa tenang Pemilu 2019. Kasus terbanyak terjadi di Jawa Barat dan Sumatra Utara.
Menurut Afif, pengawas pemilu di seluruh Indonesia di semua tingkat telah menyelenggarakan patroli pengawasan politik uang selama masa tenang pada 14,15 dan 16 April. Dalam patroli tersebut, pengawas pemilu menangkap tangan peserta pemilu dan tim pemenangan yang diduga sedang memberi uang kepada masyarakat untuk memengaruhi pilihannya.
"Secara total terdapat 25 kasus di 25 kabupaten/kota yang tertangkap tangan hingga Selasa (16/4)," ujar Afif kepada wartawan saat konferensi pers di Kantor Bawaslu, Thamrin, Jakarta Pusat, Selasa.
Dia melanjutkan, kasus-kasus tersebut tersebar di 13 provinsi di seluruh Indonesia. Provinsi dengan tangkapan terbanyak adalah Jawa Barat dan Sumatera Utara dengan jumlah kasus masing-masing sebanyak lima kasus.
Penangkapan dilakukan atas koordinasi pengawas pemilu bersama dengan pihak kepolisiaan. Setiap pengawas pemilu dan penemu akan menindaklanjuti temuan tersebut dengan mengumpulkan bukti dan mengklarifikasi setiap pihak yang diduga terlibat dan menyaksikan.
Afif mengungkapkan, barang bukti yang ditemukan dari tangakapan itu beragam jenisnya, mulai dari uang, deterjen, hingga sembako. "Temuan uang paling banyak didapat di Kecamatan Tigabinanga, Kabupaten Karo, Provinsi Sumatra Utara dengan jumlah uang tunai sebesar Rp 190 juta," katanya.
Adapun, lokasi praktik politik uang yang ditemukan di antaranya di rumah penduduk dan di tempat keramaian seperti di pusat perbelanjaan. Lebih lanjut Afif mengungkapkan dalam pelaksanaan pengawasan hari tenang, Bawaslu hingga pengawas pemilu di tingkat TPS melakukan kegiatan patroli pengawasan terhadap praktik politik uang.
Kegiatan ini dilakukan dengan berbagai metode pengawasan, seperti mengelilingi
kampung mengkampanyekan tolak politik uang kepada masyarakat. Patroli dimaksudkan sebagai bentuk pencegahan Bawaslu kepada peserta pemilu dan
pemilih.
Dalam Undang-Undang Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 pasal 278 ayat (2) mengatur, selama masa tenang, pelaksana, peserta, dan/atau tim kampanye Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dilarang menjanjikan atau memberikan imbalan kepada pemilih untuk: a. tidak menggunakan hak pilihnya; b. memilih Pasangan Calon; c. memilih Partai Politik Peserta pemilu tertentu; d. memilih calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD; e. memilih calon anggota DPD tertentu.
Adapun, sanksi terhadap pelanggaran ketentuan tersebut diatur dalam pasal 523 ayat 2, yaitu setiap pelaksana, peserta, dan/atau tim Kampanye Pemilu yang dengan sengaja pada masa tenang menjanjikan atau memberikan imbalan uang atau materi lainnya kepada pemilih secara langsung ataupun tidak langsung, dipidana penjara paling lama empat tahun dan denda paling banyak Rp 48 juta.
Sedangkan, praktik politik yang dilakukan pada hari pemungutan suara, pada pasal
523 ayat 3 diatur bahwa setiap orang yang dengan sengaja pada hari pemungutan suara menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada pemilih untuk tidak menggunakan hak pilihnya atau memilih peserta pemilu tertentu dipidana penjara paling lama tiga tahun dan denda paling banyak Rp 36 juta.