REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kejahatan siber masih menjadi ancaman pada pemilihan presiden (Pilpres) 2019 kali ini. Pengamat Intelijen dan Terorisme Harits Abu Ulya mengimbau kepada IT KPU untuk mengantisipasi adanya potensi kejahatan siber yang dilakukan oleh penjahat siber.
"Maka dari sini KPU sebagai lembaga negara harusnya juga di-backup atau bersinergi dengan lembaga negara lainnya yang berkompeten untuk mengamankan IT KPU," kata Harits dalam keterangan tertulis yang diterima Republika.co.id, Kamis (18/4).
Sejumlah lembaga di Indonesia seperti Lemsaneg (Lembaga sandi negara), BSN (Badan Siber Nasional), TNI, POLRI, BIN, dan Kemenkominfo masing-masing dinilai punya desk siber dengan teknologi mutakhir yang mahal. Menurutnya jika IT KPU jebol, maka hal itu juga menentukan kedaulatan negara.
"Dan alat atau lembaga-lembaga negara yang berfungsi untuk menjaga keamanan dan kadaulatan NKRI apakah hanya bisa berpangku tangan menjadi penonton tanpa sigap bekerja demi rakyat dan negara tercinta?" katanya.
Lebih lanjut Harits menjelaskan alasan kejahatan siber termasuk kejahatan yang luar biasa lantaran penghitungan pemilu menjadi penentu kemenangan calon presiden. Jika hal tersebut tidak bisa dicegah maka artinya urusan politik berbangsa dan bernegara dicak-acak oleh segerombolan penjahat.
"Logikanya, perhitungan resmi di tangan KPU dan tabulasi resmi yang di mana publik bisa menyaksikan adalah tabulasi KPU. Namun jika paparan tabulasi resmi tersebut ternyata produk 'sihir' dari mafia pelaku cyber crime itu artinya kedaulatan NKRI runtuh. Para penjahat menjadi penentu hasil akhir," ungkapnya.