REPUBLIKA.CO.ID, DOHA — Pembicaraan antara Taliban dan Pemerintah Afghanistan yang dijadwalkan untuk digelar di Qatar pada akhir bulan ini harus ditunda. Hal itu karena adanya perselisihan mengenai siapa saja perwakilan masing-masing pihak yang hadir dalam acara itu.
Pusat Studi Konflik dan Kemanusiaan Qatar sebagai organisasi yang mensponsori pembicaraan damai tersebut melaporkan penudaan itu. Dalam sebuah pernyataan, direktur organisasi Sultan Barakat mengatakan bahwa diperlukan konsensus lebih lanjut tentang pihak yang harus berpartisipasi dalam acara tersebut.
“Sayangnya, diperlukan membangun konsensus lebih lanjut untuk membangun konsensus mengenai siapa yang harus berpartisipasi dalam konferensi,” ujar Barakat dalam sebuah pernyataan dilansir Aljazirah, Jumat (19/4).
Pembicaraan damai antara Pemerintah Afghanistan dan Taliban telah dianggap sebagai langkah awal yang signifikan menuju negosiasi untuk mengakhiri perang berkepanjangan yang terjadi di negara Timur Tengah itu. Selain itu, negosiasi termasuk untuk menanggapi penarikan pasukan Amerika Serikat (AS) yang sejak 2001 terlibat dalam konflik.
Menurut seorang pejabat Pemerintah Afghanistan, daftar peserta yang hadir dalam pembicaraan itu adalah 250 orang, termasuk banyak di antaranya adalah perempuan. Namun, jumlah itu berbeda dengan apa yang telah diumumkan oleh Pemerintah Qatar pada Kamis (18/4).
Sementara itu, Taliban tidak memberi komentar apapun mengenai penundaan pembicaraan damai tersebut. Namun, juru bicara kelompok tersebut, Zabihulah Mujahed mengatakan bahwa delegasi dari Pemerintah Afghanistan tidak masuk akal karena dinilai melibatkan terlalu banyak orang.
Upaya mengakhiri perang di Afghanistan telah meningkat sejak AS menunjuk utusan perdamaian Zalmay Khalilzad pada September tahun lalu. Ia kemudian telah mengadakan beberapa putaran pembicaraan dengan Taliban.
Dengan keputusan penundaan pembicaraan damai ini, Khalilzad menyampaikan kekecewaannya. Ia terus mendorong agar semua pihak yang terlibat dalam konflik di Afghanistan untuk tetap berkomitmen melakukan dialog.
Selama ini, Taliban menolak untuk melakukan negosiasi dengan Pemerintah Afghanistan yang dipimpin oleh Presiden Ashraf Ghani, yang kelompok itu katakan sebagai ‘boneka AS’. Selain itu, Taliban masih sering meluncurkan serangan yang menargetkan pasukan keamanan Afghanistan serta warga sipil. Situasi di negara itu juga diperburuk dengan kehadiran Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) yang memanfaatkan situasi konflik dan membangun basis di wilayah timur dan utara.