REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Hadis merupakan sumber hukum Islam setelah Alquran. Hadis Nabi SAW memberikan penjelasan secara lebih terperinci tentang persoalan-persoalan global yang diterangkan dalam Alquran.
Para sahabat, tabiin (penerus sahabat), dan tabiit-tabiin (generasi setelah tabiin) banyak sekali meriwayatkan hadis-hadis Nabi Muhammad SAW, baik berkenaan dengan perbuatan Nabi SAW maupun perkataan dan akhlak Rasulullah. Begitu juga dengan generasi sesudah tabiin atau para ulama salafus saleh.
Tokoh-tokoh hadis itu adalah Imam Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Abu Dawud, Ibnu Majah, An-Nasai, dan lain sebagainya. Adapun ulama kontemporer yang banyak menggeluti hadis Nabi SAW di antaranya adalah Syekh Nashiruddin Al-Albani. Ia dikenal sebagai seorang tokoh pembaharu Islam di abad ke-20.
Kemampuan dan kepakaran Syekh Al-Albani sangat tidak diragukan lagi. Para ulama menyebutnya sebagai seseorang yang sangat ahli dalam bidang hadis. Hal ini terlihat dari berbagai karyanya yang sangat inspiratif dalam menjelaskan kedudukan hadis Nabi SAW.
Ketekunannya dalam menggali hadis sangat membantu umat Islam dalam menghidupkan kembali ilmu hadis. Ia dianggap sebagai salah seorang yang sangat berjasa dalam memurnikan ajaran Islam dari hadis-hadis yang lemah dan palsu dalam periwayatan dan derajat hadis.
Biografi Singkat
Nama lengkapnya adalah Abu Abdirrahman Muhammad Nashiruddin bin al-Haj Nuh al-Albani. Dilahirkan pada tahun 1333 H (1914 M) di Ashqodar (Shkodra), ibu kota Albania masa lampau.
Ia dibesarkan di tengah keluarga yang tak berpunya secara materi, namun sangat kaya dalam ilmu, khususnya ilmu agama. Ayahnya, al-Haj Nuh, adalah lulusan lembaga pendidikan ilmu-ilmu syariat di ibu kota negara Kesultanan Turki Usmani (yang kini menjadi Istanbul). Ia wafat pada Jumat malam, 21 Jumadil Tsaniyah 1420 H, atau bertepatan dengan 1 Oktober 1999 di Yordania.
Ayahnya, Syekh Al-Haj Nuh terkenal sebagai seorang tokoh Muslim yang sangat getol dalam menyebarkan dakwah Islam di Albania. Ketika Ahmet Zogu berkuasa di Albania dan mengubah sistem pemerintahan menjadi pemerintah sekuler, Syekh al-Haj Nuh amat mengkhawatirkan dirinya dan keluarganya. Karena itu, ayahnya memutuskan hijrah ke Syam (Suriah, Yordania, dan Lebanon sekarang) dalam rangka menyelamatkan agamanya dan menghindari fitnah. Dari Syam, Syekh Al-Haj Nuh, bersama keluarganya, bertolak ke Damaskus.
Setiba di Damaskus, Syekh al-Albani kecil mulai mempelajari bahasa Arab. Ia masuk di madrasah yang dikelola oleh Jam'iyah al-Is'af al-Khairiyah. Di sana, Syekh al-Albani belajar hingga kelas terakhir dan lulus di tingkat ibtidaiyah.
Setelah tamat dari madrasah ibtidaiyah, ia meneruskan belajar langsung kepada para ulama. Ia belajar Alquran dari ayahnya sampai khatam serta mempelajari ilmu fikih, terutama fikih Hanafi.
Ia juga mempelajari keterampilan memperbaiki (reparasi) jam dari ayahnya hingga mahir. Keterampilan ini kemudian menjadi salah satu mata pencahariannya.
Pada usia 20 tahun, ia mulai mengonsentrasikan diri pada ilmu hadis lantaran terkesan dengan pembahasan-pembahasan yang ada dalam majalah al-Manar, sebuah majalah yang diterbitkan oleh Syekh Muhammad Rasyid Ridha. Kegiatan pertamanya di bidang ini ialah menyalin sebuah kitab berjudul al-Mughni 'an Hamli al-Asfar fi Takhrij ma fi al-Ishabah min al-Akhbar, sebuah kitab karya al-Iraqi, berupa takhrij terhadap hadis-hadis yang terdapat pada Ihya' Ulumuddin karangan Imam al-Ghazali.
Bukannya mendukung, ayahnya justru sangat menentang al-Albani mempelajari bidang hadis ini. Ayahnya mengatakan, ''Sesungguhnya, ilmu hadis adalah pekerjaan orang-orang pailit.'' Namun demikian, Syekh al-Albani tetap menekuni ilmu hadis.
Ketekunannya dalam mempelajari ilmu hadis membuatnya harus banyak membaca dan mempelajari karya-karya ulama terdahulu. Tak heran, uang hasil kerjanya, baik dari jasa reparasi jam maupun lainnya, tak cukup untuk membeli buku-buku dan karya-karya ulama hadis itu.
Untuk mengatasi hal ini, al-Albani memanfaatkan Perpustakaan az-Zhahiriyah di Damaskus untuk mempelajari ilmu hadis, di samping juga meminjam buku dari beberapa perpustakaan khusus. Karena kesibukannya ini, ia sampai-sampai menutup kios reparasi jamnya. Ia tidak pernah beristirahat menelaah kitab-kitab hadis, kecuali waktu shalat tiba.
Akhirnya, kepala kantor perpustakaan memberikan sebuah ruangan khusus di perpustakaan tersebut untuk Syekh al-Albani. Bahkan, kemudian ia diberi wewenang untuk membawa kunci perpustakaan.
Kondisi ini membuatnya makin leluasa dan terbiasa datang sebelum pengunjung lain tiba di perpustakaan. Begitu pula, ketika orang lain pulang pada waktu shalat Zuhur, ia justru pulang setelah shalat Isya. Hal ini dijalaninya selama bertahun-tahun.