REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Di uraian sebelumnya, dikisahkan tentang Maximilian yang mulai tersadar tentang betapa paganisme tidak masuk akal. Mengapa manusia harus menyembah berhala-berhala? Padahal, benda-benda itu tak memberi manfaat sedikitpun, begitu pula tidak dapat mencelakakan manusia sama sekali? Helen, sang istri yang memang sedari awal sudah beriman pada ajaran Nabi Isa AS, menenangkan dirinya.
Helen mengatakan kepadanya, penyembahan pada berhala memang tidak sesuai fitrah penciptaan manusia. Bagaimana mungkin manusia menyembah apa yang dibentuk oleh tangannya sendiri? Istrinya itu mengatakan kepadanya, Nabi Isa AS telah mengajarkan kebenaran, bahwa manusia seharusnya beriman kepada Allah, Tuhan Yang Esa.
Sejak saat itu, Maximilian mulai belajar Injil. Di rumahnya, dia kerap mengundang seorang alim Nasrani untuk mengajarkan kepadanya ajaran Nabi Isa AS. Tentunya, hal itu dilakukan secara sembunyi-sembunyi untuk menghindar dari kecurigaan mertuanya, yang tak lain gubernur Daqyanus, si penguasa lalim lagi musyrik.
Tegas di Hadapan Penguasa
Sementara itu, penindasan atas orang-orang Nasrani semakin gencar. Suatu hari, seorang tokoh lokal yang beriman pada tauhid dihukum dengan cara disalib. Bahkan, jasadnya kemudian dibakar dan ditampilkan di dekat pasar. Hal itu menjadi cara penguasa Romawi untuk memperingatkan rakyat agar selalu takut dan tidak berpaling dari politeisme.
Melihat kejadian ini, Maximilian tergerak untuk membantu keluarga syuhada tersebut. Pada malam hari, dia dan lima orang pengawalnya diam-diam menurunkan jasad martir itu, sehingga bisa diserahkan pada ahli waris dan dikuburkan secara layak. Tindakan Maximilian menjadi peluang bagi sejumlah pejabat di istana yang memang sejak semula menganggapnya hanya orang asing dari Roma—bukan asli Ephesus.
Seorang pejabat kemudian meminta Daqyanus agar menghadirkan menantunya itu dan kawan-kawannya. Tujuannya untuk menguji keberpihakan mereka, apakah masih pada agama politeistik Romawi ataukah ajaran Nabi Isa AS.
Di depan Daqyanus, Maximilian dan kelima pengawalnya—Jamblichus, Martin, John, Dionysius, dan Constantine—dengan tegas menolak menyembah dewa-dewi.
Keyakinannya tidak goyah bahwa berhala yang menjadi sembahan kaum musyrikin tidak membawa manfaat dan mudarat apa pun pada manusia. Sebab, bukanlah benda-benda itu yang menciptakan manusia dan alam semesta. Hanya Allah SWT, satu-satunya Sang Pencipta dan Zat yang berhak disembah.
Dialog antara pemimpin yang kafir itu dan keenam pemuda yang beriman itu diabadikan dalam Alquran, surah al-Kahf ayat ke-14, yang artinya, “Dan Kami (Allah) meneguhkan hati mereka di waktu mereka berdiri, lalu mereka pun berkata, ‘Tuhan kami adalah Tuhan seluruh langit dan bumi; kami sekali-kali tidak menyeru Tuhan selain Dia, sesungguhnya kami kalau demikian telah mengucapkan perkataan yang amat jauh dari kebenaran.’”
Mendengar jawaban mereka, Daqyanus tidak putus akal. Dia berdalih memberikan waktu kepada mereka agar memikirkan ulang keputusannya. Dia menduga cara itu akan efektif melunakkan tekad mereka, sehingga berpaling dari keyakinan tauhid (monoteisme) menuju penyembahan pada berhala (politeisme).
Untuk berjaga-jaga, pemimpin Ephesus itu juga menyusun rencana sembunyi-sembunyi sehingga dapat menyergap menantunya dan para pengikutnya yang telah membangkak Roma. Bila perlu, Maximilian dibunuh saja, tetapi dengan cara seolah-olah Daqyanus tidak terlibat.
“Orang-orang kafir itu membuat tipu daya, dan Allah membalas tipu daya mereka itu. Dan Allah sebaik-baik pembalas tipu daya” (Alquran surah Ali ‘Imran: 54).
Helen ternyata mengetahui skenario jahat yang akan dilaksanakan kepada suaminya itu dan orang-orang beriman yang mengikutinya. Putri Daqyanus itu lantas meminta Maximilian dan kawan-kawan agar kabur melalui lorong bawah tanah yang memang telah disiapkan sebagai jalan keluar sewaktu-waktu perang berkecamuk.
(Bersambung)