REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Huruf Braille telah dikenal sebagai sistem tulisan yang bisa dibaca bagi para tunanetra. Seorang ilmuwan tunanetra dari Prancis, Louis Braille (1824), menemukan pola enam titik dalam huruf-huruf timbul.
Temuan ini ternyata telah ada sejak enam abad sebelumnya. Penemunya adalah ilmuwan Muslim dari Suriah, Ali bin Ahmed bin Yusuf Ibnu al-Khizr al-Amidi.
Kedua penemuan huruf untuk kaum tunanetra, baik oleh Braille maupun al-Amidi, sama-sama diilhami dari keadaan mereka yang mengalami kekurangan pada indera penglihatan sejak lahir.
Bedanya, alfabet Braille yang digunakan masyarakat dunia terdiri atas 63 karakter dalam rangkaian enam titik. Para penggunanya bisa mengidentifikasinya di atas lembaran kertas.
Sedangkan, kemampuan al-Amidi terasah melalui kemampuan jari-jarinya. Begitu pula kepekaan perasaannya yang berguna untuk mencari atau mengenali berbagai benda di sekitarnya dengan sentuhan.
Setiap kali dia pergi untuk membeli buku, dia akan selalu mengambil selembar kertas. Kertas itu digulungnya menyerupai sebentuk huruf abjad. Kemudian ditempelkan di sampul depan bukunya sebagai penanda. Sekali sentuh, dia bisa mengenali judul, harga, jumlah halaman, dan bagian kecil dari koleksi bukunya.
Dia juga bisa menetapkan jarak baris bukunya. Sayangnya, sejarah dunia tak mencatat kontribusi al-Amidi. Tapi, di kawasan jazirah Arab, nama al-Amidi diabadikan. Negara Arab Saudi dan Mesir menerbitkan perangko menunjukkan pria tunanetra yang sedang membaca.
Kecerdasan ahli hukum dan pakar bahasa asing tersebut patut dihargai. Meski memiliki keterbatasan fisik, semangatnya tetap tinggi untuk menimba ilmu pengetahuan. Sistem penulisan yang ia ciptakan membuatnya mampu membaca dan menulis buku.