REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mantan Sekretaris Jenderal Partai Golkar Idrus Marham divonis 3 tahun penjara ditambah denda Rp 150 juta subsider dua bulan kurungan. Idrus terbukti menerima suap bersama-sama dengan anggota Komisi VII DPR dari fraksi Partai Golkar non-aktif Eni Maulani Saragih.
"Mengadili, menyatakan terdakwa Idrus Marham terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama sebagaimana dakwaan kedua. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa dengan pidana penjara selama 3 tahun serta pidana denda sejumlah Rp150 juta subsider 2 bulan kurungan," kata ketua majelis hakim Yanto di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Selasa (23/4).
Vonis itu lebih rendah dibanding tuntutan jaksa penuntut umum (JPU) KPK yang meminta agar Idrus divonis selama lima tahun dan pidana denda selama Rp 300 juta subsider empat bulan kurungan. Putusan itu berdasarkan dakwaan kedua pasal 11 UU No. 31 tahun 1999 sebagaimana diubah UU No. 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke-1 jo Pasal 64 ayat (1) KUHP, sedangkan JPU KPK menuntut Idrus dari dakwaan pertama dari pasal 12 huruf a.
Majelis hakim yang terdiri atas Yanto, Hastoko, Hariono, Anwar, serta Titik Sansiwi itu tidak membebankan pembayaran uang pengganti kepada Idrus karena sudah dibebankan kepada Eni. "Hal yang memberatkan, perbuatan terdakwa bertentangan dengan pemerintah yang sedang gencar-gencarnya memberantas korupsi, korupsi adalah kejahatan yang luar biasa, tidak mengakui perbuatan. Hal yang meringankan terdakwa bersikap sopan, tidak menikmati hasil kejahatan dan belum pernah dihukum," kata anggota majelis hakim Anwar.
Penerimaan uang Rp 2,25 miliar itu bertujuan agar Eni membantu Johanes Budisutrisno Kotjo mendapatkan proyek. Proyek tersebut, yakni Independent Power Producer (IPP) Pembangkit Listrik Tenaga Uap Mulut Tambang RIAU-1 (PLTU MT RIAU-1) antara PT Pembangkitan Jawa Bali Investasi (PT PJBI), Blackgold Natural Resources (BNR) Ltd dan China Huadian Engineering Company (CHEC), Ltd.
Awalnya, pengurusan IPP PLTU MT RIAU-1 dilakukan Eni dengan melaporkan ke mantan ketua umum Partai Golkar Setya Novanto (Setnov). Namun setelah Setnov ditahan KPK dalam kasus KTP-el, Eni Maulani melaporkan perkembangan proyek PLTU MT RIAU-1 Idrus Marham.
Idrus melakukan komunikasi dengan Eni Maulani Saragih. Dalam komunikasi tersebut, terdakwa selaku penanggung jawab Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) Partai Golkar mengarahkan Eni Maulani Saragih selaku bendahara untuk meminta uang sejumlah 2,5 juta dolar AS kepada Johanes Budisutrisno Kotjo guna keperluan Munaslub Partai Golkar tahun 2017.
Selanjutnya pada 25 November 2017, Eni mengirim WhatsApp (WA) kepada Kotjo yang yang meminta uang sejumlah 3 juta dolar AS dan 400 ribu dolar Singapura yang dijawab "Senin di darat deh". Pada 15 Desember 2017, Idrus bersama dengan Eni menemui Kotjo di kantornya di Graha BIP Jakarta. Dalam pertemuan itu Kotjo menyampaikan fee sebesar 2,5 persen yang akan diberikan ke Eni jika proyek PLTU MT RIAU 1 berhasil terlaksana.
Kotjo lalu pada 18 Desember 2017 memerintahkan sekretaris pribadinya untuk memberikan uang sebesar Rp 2 miliar kepada Idrus dan Eni melalui Tahta Maharaya di graha BIP. Pada 27 Mei 2018, Eni mengirimkan WA lagi untuk meminta sejumlah Rp 10 miliar guna keperluan pilkada suami Eni Maulani yang mencalonkan diri menjadi Bupati Temanggung yaitu Muhammad Al Khadziq.
Uang akan diperhtungkan dengan besaran fee yang akan dibagi oleh Kotjo setelah proyek PLTU MT RIAU-1 berhasil. Namun, Johanes Kotjo menolak permintaan tersebut dengan mengatakan "saat ini cashflow lagi seret".
Karena WA Eni tidak didanggapi, maka Idrus dan Eni menemui Kotjo di kantornya pada 5 Juni 2018 dan meminta Kotjo memenuhi permintaan Eni dengan mengatakan "tolong adik saya ini dibantu...buat pilkada". Pada 8 Juni 2018, Eni kembali meminta Idrus menghubungi Kotjo.
Idrus pun menghubungi Ktojo melalui WA dengan kalimat "Maaf bang, dinda butuh bantuan untuk kemenangan Bang, sangat berharga bantuan Bang Koco..Tks" agar memberikan uang yang diminta Eni. Setelah mendapat pesan WA tersebut, Kotjo lalu memberikan uang sejumlah Rp 250 juta kepada Eni malalui Tahta Maharaya di kantornya pada 8 Juni 2018.
Dari total penerimaan uang dari Johanes Kotjo sejumlah Rp 2,25 miliar tersebut sejumlah Rp 713 juta diserahkan oleh Eni Maulani Saragih selaku bendahara kepada Muhammad Sarmuji selaku Wakil Sekretaris "Steering Committe" Munaslub Partai Golkar tahun 2017.
"Sebagian dari uang yang diterima Eni Saragih dipergunakan untuk munaslub partai Golkar 2017 karena Eni menjabat sebagai bendahara umum dan uang yang diterima tersebut digunakan untuk munaslub Golkar adalah atas kehendak terdakwa Idrus Marham karena pada 15 Desember 2017 sebelum Munaslub Golkar, Eni Saragih dan Idrus Marham bertemu dengan Johanes Budisutrisno Kotjo di graha BIP dan meminta uang untuk kepentingan Munaslub Golkar," kata hakim Hastoko.
Majelis hakim pun menganggap perbuatan Idrus dan Eni yang merupakan anggota DPR yang kewenangannya mengawasi pemerintah dan budgeting, tetapi melakukan kolusi dengan melakukan kesepakatan tidak jujur diwarnai pemberian uang kepada Eni dan diketahui oleh terdakwa Idrus Marham sudah terbukti. Atas vonis itu, Idrus dan JPU KPK menyatakan pikir-pikir selama 7 hari.
Terkait perkara ini, Eni Maulani Saragih pada 1 Maret 2019 lalu telah divonis enam tahun penjara ditambah denda Rp200 juta subsider 2 bulan kurungan. Eni juga diwajibkan membayar uang pengganti sebesar Rp5,87 miliar dan 40 ribu dolar Singapura.
Sedangkan Johanes Budisutrisno Kotjo diperberat hukumannya oleh Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta menjadi 4,5 tahun penjara ditambah denda Rp250 juta subsider 6 bulan kurungan.