REPUBLIKA.CO.ID, BANDAR SERI BEGAWAN -- Brunei menyurati Parlemen Eropa sebagai upaya mempertahankan keputusannya dalam menjatuhkan hukuman mati terhadap hubungan seksual sesama jenis. Brunei mengklaim hukuman itu akan menjaga kesucian garis keturunan keluarga dan pernikahan.
Dalam sepucuk surat kepada Anggota Parlemen Eropa (MEP) tertanggal 15 April, perwakilan negara itu di UE menuliskan Brunei memberlakukan undang-undang sendiri untuk menjaga nilai-nilai tradisional, agama dan budayanya. Brunei mengatakan tak ada standar umum yang bisa diterapkan di semua negara.
Brunei, mantan jajahan Inggris yang berpenduduk mayoritas Muslim dengan populasi sekitar 400 ribu, mulai menerapkan hukum syariah mulai 3 April. Dalam aturan tersebut, Brunei menghukum sodomi, perzinahan dan pemerkosaan dengan hukuman mati, termasuk dengan melempari batu, dan pencurian dengan amputasi.
Dalam surat itu, Brunei menyerukan toleransi dan penghormatan atas kedaulatan dan nilai-nilainya. Brunei mengatakan hukum syariah dan sistem hukum umum akan berjalan secara paralel untuk menjaga perdamaian dan ketertiban.
"Kriminalisasi perzinahan dan sodomi dilakukan untuk menjaga kesucian garis keturunan keluarga dan pernikahan umat Muslim, terutama perempuan. Dengan demikian pelanggaran itu tidak akan berlaku untuk non-Muslim kecuali tindakan perzinahan atau sodomi dilakukan dengan seorang Muslim," katanya.
Ia melanjutkan kematian dengan dilempari batu dan diamputasi memiliki ambang pembuktian yang sangat tinggi yang membutuhkan tidak kurang dari dua atau empat orang yang bermoral dan memiliki kesalehan tinggi sebagai saksi. "Mirip dengan sistem hukum umum, praduga tak bersalah dan proses hukum sangat ketat dianut dalam memastikan pengadilan yang adil," ujar surat itu.
UE kecam hukum Islam di Brunei
Parlemen Eropa mengecam Brunei setelah surat itu muncul, mengadopsi sebuah resolusi mengutuk berlakunya KUHP Syariah yang terbelakang dan mendesak pihak berwenang Brunei untuk segera mencabutnya. Parlemen UE dalam sebuah pernyataan menyatakan hukum itu disahkan dengan dukungan.
Para anggota Parlemen juga meminta Uni Eropa untuk mempertimbangkan pembekuan aset dan larangan visa di Brunei, dan untuk mencekal sembilan hotel yang dimiliki oleh Badan Investasi Brunei, termasuk The Dorchester di London dan The Beverley Hills Hotel di Los Angeles.
"Pemerintah Brunei mencoba mengecilkan kemunduran yang mengerikan, mengerikan untuk hak asasi manusia. Kami tak bisa mengecualikan kemungkinan bahwa mereka mulai menerapkan ini," kata Barbara Lochbihler, seorang anggota Parlemen dan penulis utama resolusi parlemen tersebut.
Federica Mogherini, perwakilan UE untuk urusan luar negeri, menambahkan hukuman itu tak bisa dibela. "Tidak ada kejahatan yang membenarkan amputasi atau penyiksaan, apalagi hukuman mati," katanya kepada Parlemen ketika resolusi itu diperdebatkan.
"Seharusnya tidak ada orang yang dihukum karena mencintai seseorang."
Naqib Adnan, sekretaris kedua Kedutaan Brunei untuk Uni Eropa, menolak berkomentar.
Ikuti berita-berita lain di situs ABC Indonesia.