REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Menteri PPN/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro memastikan, skema dukungan pemerintah pusat untuk penyediaan angkutan umum massal perkotaan sedang disusun. Prinsip utama kebijakan ini adalah inisiatif pembangunan angkutan umum massal yang berasal dari pemerintah daerah (pemda) dan diimplementasikan oleh mereka dengan melibatkan pihak swasta. Selain itu, pengadaannya dilaksanakan melalui sistem lelang untuk menjamin efisiensi.
Bambang menuturkan, beberapa kriteria yang harus dipenuhi pemda adalah Eligibility Criteria, seperti tipe kota dan kawasan metropolitan, komitmen fiskal dan kesesuaian dengan perencanaan kota. Di samping itu, Readiness Criteria, seperti urban mobility plan terintegrasi dengan RTRW dan RDTR.
"Serta, Project Viability Criteria yang mencakup prastudi kelayakan dan optimalisasi pembiayaan dari badan usaha," ujarnya dalam Workshop Skema Dukungan Pemerintah Pusat dan Kelembagaan dalam Penyediaan Angkutan Umum Massal Perkotaan di Jakarta, Selasa (23/4).
Bambang menyebutkan, sudah ada beberapa negara yang melakukan skema tersebut. Di antaranya Meksiko yang membangun skema dukungan finansial dari Pemerintah Federal melalui Trust Fund untuk membangun angkutan umum massal perkotaan. Bank Pembangunan Federal (BANOBRAS) menjadi pihak yang mengelolanya.
Dukungan finansial ini digunakan untuk membiayai hingga 50 persen biaya studi, capacity building dan penyiapan proyek, dan 50 persen biaya pembangunan infrastruktur transportasi perkotaan.
Untuk mendapatkan dukungan ini, Bambang mengatakan, pemda harus melakukan beberapa hal. Di antaranya, memperkuat institusi penyelenggara angkutan umum, membangun mobilitas perkotaan, menanggung 50 persen biaya studi dan penyiapan proyek. "Termasuk juga membiayai 50 persen pembangunan infrastruktur, dan mengikutsertakan partisipasi swasta untuk pembiayaan sarana," ujarnya.
BANORBAS juga berhasil mengelola jalan tol milik Pemerintah Federal, sehingga keuntungannya dapat digunakan untuk membiayai Trust Fund untuk membangun angkutan umum massal perkotaan.
Bambang juga menyebutkan New York, Amerika Serikat, sebagai negara yang patut dicontoh. Melalui badan usaha Metropolitan Transportation Authority (MTA), pemerintahan setempat mengelola integrasi pendapatan dari sektor transportasi, baik dari tiket maupun non-tiket.
Selain itu, MTA mampu mengaplikasikan cara beberapa kota yang berbeda dalam satu kawasan metropolitan di New York dapat membiayai angkutan umum terintegrasi yang melayani lintas wilayah.
Bambang menjelaskan, MTA didirikan karena sebelumnya angkutan umum massal di New York mengalami degradasi pelayanan. Dampaknya, nilai share rendah dan tidak berkontribusi terhadap kinerja lalu lintas. Di sisi lain, pengelolaan tol dan tunnel dapat beroleh keuntungan yang signifikan.
Pada akhirnya, Pemerintah Federal kemudian membentuk MTA New York. Mereka berfungsi sebagai pengelola beberapa pelayanan sektor transportasi yang dimiliki beberapa kota berbeda untuk mengintegrasikan dan meningkatkan pelayanan angkutan umum massal.
Dalam rancangan teknokratik RPJMN 2020-2024, Bambang memastikan, kebijakan pengembangan angkutan umum massal perkotaan Indonesia sudah dimasukkan. Yakni meliputi angkutan berbasis jalan dan rel, penerapan Transit Oriented Development (TOD), pengembangan skema dukungan pemerintah pusat bagi pemerintah daerah untuk penyediaan angkutan umum massal perkotaan. "Selain itu, pengembangan kelembagaan badan atau otoritas transportasi perkotaan," tuturnya.
Dalam rancangan tersebut, indikasi kebutuhan pembiayaan pengembangan sistem angkutan umum massal berbasis rel di enam kota metropolitan adalah sekitar Rp 180 triliun. Enam kota itu adalah Jakarta, Surabaya, Bandung, Medan, Semarang dan Makassar.
Menurut Bambang, strategi skema dukungan pemerintah pusat untuk pembangunan angkutan umum massal perkotaan serta kelembagaan otoritas transportasi perkotaan adalah hal penting. "Keduanya merupakan prasyarat agar rencana pembangunan angkutan umum massal kita dapat diimplementasikan," ujarnya.
Skema dukungan pemerintah pusat juga diharapkan mampu meningkatkan penggunaan angkutan umum. Di kota-kota besar Indonesia, persentase penggunaan angkutan umum masih berkisar lima hingga 25 persen, sedangkan di Hongkong 90 persen, Seoul 70 persen dan Tokyo 50 persen.