Rabu 24 Apr 2019 06:31 WIB

Lima Lokasi yang Diduga Tempat Ashabul Kahfi

Quraish Shihab dalam bukunya mengutip adanya lima lokasi diduga tempat mereka

(Ilustrasi) Surah al-Kahfi di dalam Alquran
Foto: Ist
(Ilustrasi) Surah al-Kahfi di dalam Alquran

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- M Quraish Shihab dalam Tafsir al-Mishbah menjelaskan, ayat-ayat yang menguraikan kisah Para Penghuni Gua (Ashab al-Kahfi) sama halnya dengan kisah-kisah umumnya yang terkandung dalam Alquran. Penyebutan tentang siapa nama pelakunya atau di mana dan kapan terjadinya peristiwa yang dimaksud tidak ada. Ketiadaan hal itu pada akhirnya mengarahkan pembaca justru langsung pada inti hikmah yang dapat dipetik dari kisah tersebut.

Bagaimanapun, peristiwa dan sosok-sosok Ashab al-Kahfi sungguh-sungguh eksis dalam sejarah. Shihab mengutip lima lokasi yang diduga menjadi lokasi persembunyian orang-orang beriman tersebut.

Baca Juga

Pertama, di Ephesus, suatu kota kuno di pesisir Turki Barat, yang berjarak sekitar tiga kilometer dari Distrik Selçuk, Provinsi Izmir, Turki. Kedua, gua di Qasium, kota ash-Shalihiyyah, dekat Damaskus, Suriah.

Ketiga, gua al-Batra di Palestina. Keempat, gua di wilayah Skandinavia (Eropa Utara). Kelima, Gua Rajib, yang berlokasi kira-kira delapan kilometer dari Amman, Yordania.

Pada tulisan sebelumnya, telah dijelaskan bagaimana enam orang pejabat negeri Ephesus—Maximilian, Jamblichus, Martin, John, Dionysius, dan Constantine—serta seorang pengembala, Antonius, berhasil melarikan diri dari kejaran tentara Gubernur Daqyanus.

Mereka berupaya menyelamatkan iman di tengah tekanan penguasa yang menggencarkan kemusyrikan. Pada masa itu, pemerintah Romawi tidak segan-segan menyiksa kaum Nasrani hanya karena mereka menolak menyembah dewa-dewi (politeisme).

 

Pertolongan dari Sisi Allah

Apakah dengan lari ke dalam gua para Ashab al-Kahfi “takut”? Tidak dapat dianggap demikian. Untuk menjawab pertanyaan semacam itu, Shihab berfokus pada tafsir surah al-Kahfi ayat ke-10.

Tujuh pemuda itu bersembunyi bukan dalam rangka mencari jalan pintas, menghindari masyarakat, atau enggan berusaha lebih keras lagi. Sebelum beranjak ke gua, mereka telah melakukan segala upaya yang-mungkin. Jelaslah bahwa para pemuda itu sudah sampai batas kemampuan.

Dalam kondisi demikian, pertolongan pun datang dari sisi Allah SWT. Dalam ayat tersebut, mesti diketahui bahwa kata-kata min ladunka berbeda daripada min ‘indika—meski secara harfiah artinya sama: ‘dari sisi-Mu’.

Min ladunka merujuk pada sesuatu yang bersumber dari Allah SWT. Sifatnya di luar kemampuan manusia untuk membayangkannya. Dalam bidang sufisme, misalnya, ilmu laduni dipahami sebagai ilmu yang diperoleh seseorang secara “langsung” dari Tuhan. Sementara, min ‘indika juga berasal dari Allah, tetapi masih melalui kalkulasi nalar logika.

sumber : Pusat Data Republika
BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement