Rabu 24 Apr 2019 06:53 WIB

Ketika Para Ashabul Kahfi Keluar dari dalam Gua (2-Habis)

Kini, kota tempat asal Ashabul Kahfi itu dipimpin raja yang beriman pada ajaran Nabi

(Ilustrasi) Pemuda Ashabul Kahfi sepenuhnya berserah diri pada Allah SWT
Foto: alifmusic.net
(Ilustrasi) Pemuda Ashabul Kahfi sepenuhnya berserah diri pada Allah SWT

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Melanjutkan kisah sebelumnya. Persoalan mulai muncul ketika utusan Ashab al-Kahfi ini membayar barang yang dibelinya. Si penjual terperanjat begitu melihat uang perak yang diterimanya. Seketika dia menolak karena uang itu sudah amat lama tidak berlaku lagi.

Bahkan, dia menuduh utusan Ashab al-Kahf ini sedang menipunya. Ribut-ribut di depan kios itu membuat sejumlah petugas kerajaan mendekat. Aparat keamanan ini lantas menangkap utusan tersebut.

Baca Juga

Setelah diinterogasi, utusan itu pun menceritakan siapa dirinya dan kawan-kawannya yang sedang menunggu di dalam gua. Keterangannya membuat heran dan takjub para petugas. Bahkan, sejumlah menteri kerajaan sengaja datang begitu tahu ada uang kuno yang beredar di pasar.

Sebaliknya, utusan Ashab al-Kahf ini terperanjat setelah diberi tahu bahwa Daqyanus telah lama meninggal. Bahkan, gubernur musyrik nan lalil itu sudah menjemput ajal ratusan tahun silam. Sadarlah dia bahwa kini negeri tanah airnya dipimpin Theodosius, raja yang beriman pada ajaran Nabi Isa AS; iman yang juga dipeluk para Ashab al-Kahf.

Tersiarlah berita ke tengah masyarakat tentang orang-orang saleh penghuni gua yang bangkit lagi setelah tiga abad ditinggalkan.

Khalayak mulai berbondong-bondong menghampiri gua di gunung tempat bersemayamnya Ashab al-Kahfi. Mereka begitu bersemangat untuk menyaksikan dengan mata kepala sendiri.

Sementara itu, utusan yang tadi ditugaskan pergi ke pasar telah kembali bersama para sahabatnya di dalam gua. Lautan massa memberi jalan kepada arak-arakan Theodosius, yang hampir sampai di lokasi Ashab al-Kahfi.

Ketika akan memasuki gua tersebut, sang raja melihat para penghuni gua sedang tidur lelap. Pada saat itulah, Allah SWT mencabut nyawa pemuda-pemuda tersebut. Semuanya meninggal dunia dengan tenang, termasuk utusan yang sebelumnya turun ke pusat kota. Bahkan, demikian pula dengan anjing yang selama ini menjaga pintu gua tersebut.

Setelah menyadari orang-orang saleh itu telah wafat, muncul perselisihan di antara para petinggi kerajaan. Bagaimana keputusan selanjutnya. Apakah gua itu akan dibiarkan begitu saja? Bagaimana cara terbaik untuk mengenang orang-orang saleh itu?

Sebagian mereka meminta agar gua tersebut ditutup saja dan ditandai plakat biasa yang sebatas menandakan peristiwa historis tersebut. Sebagian yang lain malah mendesak sang raja agar mendirikan sebuah rumah peribadatan di atas gua itu.

Buya Hamka dalam kitab tafsirnya mengutip pendapat Ibnu Jarir, yang mengatakan, orang-orang yang mengajukan permintaan pertama cenderung memelihara ajaran tauhid semurni-murninya. Sementara itu, mereka yang ingin mendirikan kuil di atasnya sudah terkontaminasi ajaran musyrik.

sumber : Pusat Data Republika
BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement