REPUBLIKA.CO.ID, WELLINGTON -- Selandia Baru berencana memberi izin tinggal permanen bagi semua penyintas penembakan massal di dua masjid Christchurch, yang menewaskan 50 orang. Hal itu diumumkan pemerintah setempat pada Selasa (23/4).
Warga Australia yang berusia 28 tahun, Brenton Tarrant, tersangka supremasi kulit putih, didakwa dengan 50 dakwaan pembunuhan. Teror pada 15 Maret itu tercatat sebagai penembakan massal paling keji dalam sejarah Selandia Baru. Serangan tersebut juga melukai 50 orang lain yang sedang menunaikan shalat Jumat.
Pemerintah mengatakan, pihaknya sedang mempertimbangkan pemberian visa bagi para penyintas, namun tidak ada keputusan yang diumumkan. Informasi pada Selasa itu hanya dirilis sebagai tautan di situs migrasi.
Migrasi Selandia Baru mengatakan kategori visa baru yang disebut visa Christchurch Response (2019) telah dibuat. Jamaah yang berada di dua masjid tersebut saat teror berlangsung dapat mengajukan visa Christchurch Response, begitu pun dengan anggota keluarga langsung.
Pemohon harus sudah tinggal di Selandia Baru pada hari serangan terjadi. Itu artinya, visa tidak tersedia bagi turis ataupun pengunjung jangka pendek. Pengajuan visa sudah dapat dilakukan mulai Rabu.