Rabu 24 Apr 2019 20:26 WIB

Pencemaran Brantas: Australia, Ambil Sampahmu dari Indonesia

Industri kertas masih kesulitan bahan baku kertas bekas dan terpaksa impor.

Red:
abc news
abc news

Hasil investigasi sebuah lembaga konservasi lingkungan di Jawa Timur menunjukkan adanya praktik penyelundupan sampah plastik dari Australia, yang masuk lewat impor kertas bekas di Indonesia.

Temuan selundupan sampah

  • Ada sampah plastik dalam kertas bekas yang dikirim dari Australia ke Indonesia
  • Industri pengolahan sampah di Australia alami krisis sejak China melarang impor produk limbah
  • Ecoton meminta Australia bertanggung jawab atas dampak buangan sampah plastik di Kali Brantas

 

Industri kertas di Indonesia masih memiliki sejumlah tantangan, termasuk kesulitan mendapat bahan baku kertas bekas dan terpaksa harus membelinya dari negara-negara lain.

Amerika Serikat, Italia, Inggris, Korea Selatan, dan Australia adalah lima negara pengekspor kertas bekas ke sejumlah pabrik di Jawa Timur. Di tahun 2018 lalu, impor kertas bekas dari Australia mencapai 52 ribu ton dan jumlah ini naik lebih dari 250 persen dibandingkan tahun 2014.

Namun dari hasil penelusuran lembaga Ecological Observations and Wetlands Conversation (Ecoton) menemukan ada kandungan plastik dalam kertas bekas yang dikirim dari Australia dan diduga "ada unsur kesengajaan".

 

"Sebenarnya menurut aturan di Indonesia sampah plastik tidak boleh lebih dari 2 persen dari bobot kertas bekas yang diimpor," ujar Prigi Arisandi, Direktur Eksekutif Ecoton.

"Namun faktanya, hingga November 2018 hampir 30 persen sampah kertas yang kita beli itu isinya adalah sampah plastik."

Kepada Erwin Renaldi dari ABC Indonesia, Prigi mengatakan adanya perilaku buruk dari negara-negara maju yang merasa kesulitan mengatasi sampah dan menyadari mahalnya biaya daur ulang.

"Mereka tidak mau lingkungannya terganggu karena sampah, karenanya menaruh resiko itu ke negara-negara miskin atau berkembang karena kita tidak memiliki regulasi terlalu kuat," katanya.

Industri pengolahan sampah di Australia telah mulai mencapai titik krisis pada bulan April tahun lalu, menyusul langkah China yang melarang impor produk limbah dari luar negeri.

 

Awal pekan ini (22/04/2019) Ecoton dan sejumlah aktivis lingkungan menggelar aksi demo di depan kantor Konsulat Jenderal Australia di Surabaya.

"Di Jawa Timur ada 22 pabrik kertas dan 12 diantaranya berada di pinggiran Kali Brantas," kata Prigi, yang juga mengatakan kebanyakan ikan-ikan di perairan tersebut memiliki lambung yang sudah terkontaminasi plastik.

Dalam kertas bekas yang diterima pabrik tersebut, ditemukan pula sampah plastik dari personal care dalam kemasan sachet, bungkus makanan, botol plastik, kantung plastik, popok, dan beberapa diantaranya bertuliskan "Made in Australia".

Ecoton menemukan beberapa pabrik kertas yang kemudian menjual sampah-sampah ini kepada masyarakat untuk dipilah, dengan harga mencapai Rp 1,2 juta per ton. Tapi karena sebagian besar sampah plastik ini tidak bisa didaur ulang, warga kemudian membakarnya atau menimbunnya di tepi sungai.

Prigi mengatakan telah menyampaikan masalah ini kepada pemerintah Indonesia, lewat Kementerian Perindustrian dan Kementerian Lingkungan Hidup dan meminta agar impor kertas bekas dievaluasi secara menyeluruh.

 

Sementara kepada pemerintah Australia, Ecoton juga menuntut agar pengecekan pelabuhan-pelabuhan di Australia diperketat, sebagai upaya menghentikan penyelundupan sampah lewat pengiriman kertas bekas.

"Ada pelanggaran aturan dan etika dari menyelundupkan sampah ... kalau ternyata memang menganggap Indonesia jadi tempat sampah bagi Australia harusnya ada perjanjian bukan diselundupkan," tegas Prigi.

Ecoton juga meminta Australia bertanggung jawab atas dampak buangan sampah plastik ke aliran air, yang pernah disampaikan kepada Kedutaan Besar Australia di Jakarta 11 April lalu namun mereka mengaku belum mendapatkan tanggapan.

Ikuti berita-berita lainnya dari ABC Indonesia.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Disclaimer: Berita ini merupakan kerja sama Republika.co.id dengan ABC News (Australian Broadcasting Corporation). Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab ABC News (Australian Broadcasting Corporation).
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement