Kamis 25 Apr 2019 09:22 WIB

Muslim Sri Lanka Takut Keluar Rumah Setelah Serangan Bom

Muslim Sri Lanka takut menjadi sasaran serangan kebencian setelah ledakan bom.

Rep: Lintar Satria/ Red: Nur Aini
Polisi Sri Lanka berpatroli di luar sebuah masjid di Kolombo, Sri Lanka, Rabu (24/4).
Foto: AP Photo/Eranga Jayawardena
Polisi Sri Lanka berpatroli di luar sebuah masjid di Kolombo, Sri Lanka, Rabu (24/4).

REPUBLIKA.CO.ID, COLOMBO -- Mohammed Hasan sangat jarang keluar dari rumahnya di Colombo setelah serangan bom yang terjadi pada Ahad lalu. Ia khawatir diserang karena ia seorang muslim. Hasan memiliki pekerjaan sebagai tukang sablon tapi keluarganya meminta ia tetap berada di rumah. 

"Mereka khawatir jika saya keluar rumah, apakah saya dapat kembali dalam keadaan hidup?" kata Hasan di Masjid Jumma di Dematagoda di mana ia biasanya sholat, seperti dilansir di Aljazirah, Kamis (25/4). 

Baca Juga

Sebanyak 359 orang tercatat tewas dalam serangan bom yang dilakukan disejumlah gereja dan hotel. ISIS mengaku bertanggung jawab atas serangan yang dilakukan pada hari Paskah tersebut. Tapi mereka tidak menunjukkan bukti klaim tersebut. 

Pada Selasa (23/4), menteri pertahanan junior Sri Lanka mengatakan serangan bom tersebut sebagai bentuk balas dendam atas penembakan di dua masjid di Selandia Baru. Hal itu dikatakan Ruwan Wijewardene di depan parlemen. 

Tapi ia tidak menyebutkan bukti-bukti dan menjelaskan alasan dari kesimpulan tersebut. Ia juga tidak memberitahu dari mana informasi tentang hal itu ia dapatkan. 

Serangan bom itu menakutkan bagi warga Sri Lanka dan dikutuk oleh kelompok-kelompok muslim di negara itu. Serangan yang paling mematikan sejak perang saudara berakhir tahun 2009 membuat banyak komunitas muslim yang merasa rentan. Zareena Begum, 60 tahun mengatakan ia menjadi sangat sulit tidur setelah serangan Paskah. 

"Saya tahu orang-orang marah dengan muslim, bayi-bayi yang digendong ibunya ikut terbunuh, saya tidak pernah membayangkan kebencian ada di hati orang-orang (yang melakukan serangan), kebencian tidak boleh menabur kebencian lebih banyak lagi," kata Begum. 

Mengenakan gaun hitam dan selendang putih, Begum menambahkan ia dan keluarganya selalu berkumpul di dalam rumah. Mereka takut untuk keluar. 

Dengan populasi sebanyak 22 juta jiwa, Sri Lanka menjadi rumah banyak etnis dan agama. Buddha Sinhala menjadi mayoritas di negara itu. Sementara muslim hanya sebesar 10 persen dari total populasi. Minoritas terbesar kedua setelah Hindu. Sekitar tujuh persen warga Sri Lanka adalah Kristen. 

Ketegangan etnis dan agama sudah lama terjadi di Sri Lanka. Muslim kerap diserang dan mengalami tindak kekerasan sejak perang saudara melawan pemberontak Tamil berakhir pada 2009 lalu. Para biksu-biksu Buddha garis keras menggelar kampanye menentang komunitas muslim. 

Pada 2013 dan 2018 pengusaha muslim kerap diserang. Mereka menyebar rumor pakaian dalam dan makanan yang dijual muslim dapat menyebabkan kemandulan. Untuk menahan kebencian terhadap muslim pemimpin-pemimpin Sri Lanka termasuk Perdana Menteri Ranil Wickremesinghe tetap tenang dan menyebarkan solidaritas.

"Sebagian besar muslim mengutuk serangan ini dan dengan apa yang terjadi mereka juga sama marahnya dengan orang Tamil dan Sinhala," kata Wickremesinghe. 

Tapi atmosfir di Masjid Jumma penuh dengan kecemasan. Beberapa jamaah mengatakan mereka berharap polisi akan 'menjaga setiap warga di masa sulit ini'.  

Wakil Presiden Dewan Muslim yang berpangaruh di Sri Lanka Hilmy Ahamed mengatakan komunitas muslim siap menghadapi serangan. Hal itu terutama karena emosi warga yang tinggi. 

"Ratusan orang dimakamkan maka akan ada ledakan emosi dan beberapa di antaranya dapat dibenarkan, kami sudah meminta pemerintah untuk memastikan keamanan tetap terjaga, serangan ini tidak dilakukan komunitas muslim tapi beberapa elemen pinggiran," katanya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement