REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Meski peradaban Islam di Eropa Barat tumbuh semakin luas, namun komunitas Muslim masih belum terbebaskan dari perlakuan diskriminatif yang kerap diusung pemerintah di negaranegara kawasan itu. Tindak diskriminatif itu terasa kian meningkat setelah terjadinya peristiwa 9/11 di Amerika Serikat yang imbasnya menyebar ke Eropa.
Salah satu kebijakan yang dinilai diskriminatif dan menekan komunitas Muslim adalah larangan bagi Muslimah mengenakan cadar (niqab) dan burqa di tempat umum yang diberlakukan pemerintah Prancis. Larangan tersebut merupakan yang pertama di Eropa Barat.
Muslimah yang melanggar ketentuan tersebut akan diganjar denda 150 euro dan diwajibkan mengikuti kelas pendidikan kepribadian. Sementara bagi ayah, suami, atau pemimpin agama yang memaksa perempuan mengenakan cadar atau burqa maka akan dijatuhi denda 30 ribu euro dan hukuman satu tahun di penjara.
Kenyataannya, hanya segelintir Muslimah di Prancis yang mengenakan niqab atau burqa dan sama sekali tidak ada bukti bahwa mereka merugikan orang lain. Saat ini, Prancis merupakan negara berpenduduk Muslim terbanyak di Eropa Barat.
Dari penduduk Muslim sekitar lima juta orang, hanya sekitar 200 Muslimah saja yang mengenai cadar atau burqa secara teratur. Sebelumnya, pemerintah Prancis juga melarang perempuan Muslim mengenakan jilbab (penutup kepala) di sekolah dan kantor. Artinya, di luar sekolah dan kantor, wanita Muslim di Prancis masih boleh berjilbab.
Langkah Prancis rupanya menginspirasi beberapa negara Eropa Barat lainnya. Di Belgia misalnya, larangan mengenakan cadar dan burqa juga telah diberlakukan dengan ancaman denda 250 euro bagi Muslimah yang melanggarnya. Sejak ada larangan itu, sejumlah Muslimah dikabarkan terpaksa membayar denda.
Terkait hal ini, Kepala Peneliti Universitas Leicester Irene Zempi mengatakan, larangan jilbab di Prancis telah meningkatkan permusuhan terhadap Muslimah berjilbab. Larang an berjilbab, kata dia, juga membentuk lahan subur bagi tumbuhnya kampanye antiIslam yang dimotori kelompok sayap kanan Eropa.
Selain masalah jilbab, Muslim di Eropa Barat juga dipusingkan oleh rencana sejumlah negara untuk melarang penyembelihan hewan secara Islam. Mantan Presiden Asosiasi Veteriner Inggris Bill Reilly menyatakan, pihaknya melarang praktik penyembelihan hewan tanpa disetrum terlebih dulu. “Penyembelihan tanpa didahului setruman tampaknya meningkat. Dari perspektif kesejahteraan hewan, ini tidak dapat diterima,’’ ujarnya.
Para penggiat hakhak binatang menganggap cara penyembelihan daging secara Islam (halal) sebagai sesuatu yang kejam. Saat ini, daging halal menguasai 25 persen dari keseluruh an pasar daging di Inggris.
Larangan yang sama juga diwacanakan di Belanda. Aturan tersebut diusulkan oleh Partai HakHak Hewan Belanda. Meski demikian, Majelis Tinggi Parlemen Belanda menolak rencana aturan tersebut.