Kamis 25 Apr 2019 17:31 WIB

MK Jabarkan Frasa Terkait Pemberhentian PNS

Putusan MK menyatakan frasa terkait pemberhentian PNS bertentangan dengan ASN.

Ketua Majelis Hakim Konstitusi Anwar Usman (tengah) didampingi Hakim Konstitusi Saldi Isra (kiri), Enny Nurbaningsih (kedua kiri), Manahan MP Sitompul (ketiga kiri), Aswanto (keempat kiri), I Dewa Gede Palguna (keempat kanan), Wahiduddin Adams (ketiga kanan), Arief Hidayat (kedua kanan) dan Suhartoyo (kanan) memimpin sidang putusan perkara tentang pemberhentian aparatur sipil negara (ASN) di Jakarta, Kamis (25/4).
Foto: Antara/Puspa Perwitasari
Ketua Majelis Hakim Konstitusi Anwar Usman (tengah) didampingi Hakim Konstitusi Saldi Isra (kiri), Enny Nurbaningsih (kedua kiri), Manahan MP Sitompul (ketiga kiri), Aswanto (keempat kiri), I Dewa Gede Palguna (keempat kanan), Wahiduddin Adams (ketiga kanan), Arief Hidayat (kedua kanan) dan Suhartoyo (kanan) memimpin sidang putusan perkara tentang pemberhentian aparatur sipil negara (ASN) di Jakarta, Kamis (25/4).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mahkamah Konstitusi (MK) melalui putusannya menjabarkan frasa "dan/atau pidana umum" pada aturan pemberhentian ASN (aparatur sipil negara) yang tertuang dalam UU 5/2014 (UU ASN). Putusan Mahkamah menyatakan frasa "dan/atau pidana umum" dalam Pasal 87 ayat (4) huruf b UU ASN bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

"Pasal tersebut telah terbukti menimbulkan ketidakpastian hukum, maka dalil para pemohon yang terkait norma tersebut dinyatakan beralasan menurut hukum," ujar Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna membacakan pertimbangan mahkamah dalam sidang putusan di Gedung MK, Jakarta, pada Kamis (25/4). 

Baca Juga

Karena itu, MK menjabarkan frasa tersebut sehingga berbunyi, "dihukum penjara atau kurungan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana kejahatan jabatan, atau tindak pidana kejahatan yang ada hubungannya dengan jabatan".

"Dengan demikian telah nyata bahwa keberadaan frasa 'dan/atau pidana umum' dalam aturan tersebut telah menimbulkan ketidakpastian hukum serta membuka peluang lahirnya ketidakadilan, sehingga bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945," ujar Palguna.

Sebelumnya para pemohon mengungkapkan kata "dapat" dalam Pasal 87 ayat (2) UU ASN dapat menimbulkan pelaksanaan norma yang bersifat subjektif berdasarkan pelaksana undang-undang. Selain itu, frasa yang memuat hukuman bagi ASN yang melakukan tindak pidana baik berencana atau tidak dengan pidana minimum dua tahun, dinilai para pemohon menimbulkan ketidakjelasan penerapan norma karena tidak memuat klasifikasi tindak pidana secara spesifik.

Pemohon menilai perbedaan pemberhentian terhadap ASN yang terbukti melakukan tindak pidana yang berkaitan dengan jabatannya dan ASN yang melakukan tindak pidana yang tidak berkaitan dengan jabatannya merupakan hal yang tidak logis. Menurut pemohon, pasal tersebut tidak memberikan perlindungan hukum sebagaimana yang dijamin dalam UUD 1945.

Pemohon juga berpendapat bahwa diperlukan pengujian, pengklasifikasian, dan penelitian terhadap ASN yang terbukti secara hukum melakukan tindak pidana kejahatan yang berhubungan dengan kewenangan jabatannya. Pemohon berpendapat pasal yang diujikan dalam perkara yang diajukannya melampaui kewenangan atau kekuasaannya karena mencabut hak atas pekerjaan seseorang tanpa melalui putusan pengadilan.

sumber : Antara
BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement