REPUBLIKA.CO.ID, TAPACHULA -- Sebanyak lebih dari 1.000 migran dilaporkan melarikan diri dari pusat tahanan di wilayah selatan Meksiko, Kamis (25/4) malam. Setidaknya setengah dari jumlah migran tersebut kemudian kembali ke fasilitas Siglo XXI di Tapachula, kota perbatasan negara tersebut.
Meski demikian, sekitar 600 migran masih belum ditemukan setelah keluar dari pusat penahanan tersebut. Kebanyakan dari migran yang ditahan di Meksiko berasal dari Kuba. Kemudian, juga terdapat warga Haiti dan negara-negara Amerika Tengah lainnya yang termasuk diantara migran yang melarikan diri.
Dalam sebuah laporan, pusat penahanan di selatan Meksiko telah dipadati dengan banyak migran. Sebelumnya, pihak berwenang Meksiko mengatakan telah mengembalikan 15 ribu migran dalam 30 hari terakhir.
Pengembalian migran tersebut dilakukan di tengah tekanan Amerika Serikat (AS) yang mengancam akan menutup perbatasan dengan Meksiko. Selama ini, banyak migran yang melewati Meksiko untuk pergi menuju AS.
Mayoritas migran berasal dari Guatemala, Honduras, dan El Salvador. Banyak yang berusaha untuk pergi dari negara-negara asal mereka untuk menghindari kekerasan dan kejahatan lainnya yang rentan terjadi di sana.
Namun, dalam insiden kali ini, kebanyakan migran yang melarikan diri berasal dari Kuba. Meski demikian, pihak berwenang di Meksiko mengatakan lebih dari 1.000 warga dari negara itu kini telah berada di Chiapas.
Sebelumnya, pada November 2018, pengadilan federal Meksiko pernah mengeluarkan putusan yang melarang dilakukannya deportasi terhadap anak-anak dan remaja yang berada dalam rombongan migran. Berdasarkan putusan hakim, Komisi Meksiko untuk Bantuan Pengungsi (Comar) harus memprakarsai prosedur kolektif untuk memberikan status pengungsi kepada setiap anak dan remaja yang mengajukan permohonan pengungsi. Komisi juga diminta mengakui adanya kekerasan yang mungkin terjadi di negara asal migran, serta situasi yang memaksa mereka melakukan migrasi.