Ahad 28 Apr 2019 07:21 WIB

Imbauan Gus Solah Terkait Situasi Pasca-pemilu

Gus Solah meminta agar elite politik berhati-hati dalam membuat pernyataan ke publik

Rep: Bowo Pribadi/ Red: Hasanul Rizqa
Pengasuh Pondok Pesantren Tebu Ireng Solahuddin Wahid atau yang akrab disapa Gus Sholah.
Foto: Republika/Wihdan Hidayat
Pengasuh Pondok Pesantren Tebu Ireng Solahuddin Wahid atau yang akrab disapa Gus Sholah.

REPUBLIKA.CO.ID, SEMARANG -- Pemilihan umum (pemilu) secara serentak telah dilalui bangsa Indonesia. Dalam konteks itu, tokoh Nahdlatul Ulama (NU) KH Salahuddin Wahid memberikan sejumlah imbauan yang disampaikannya saat berorasi ilmiah di hadapan wisudawan/wisudawati ke-77 Universitas Islam Sultan Agung (Unissula) Semarang.

Sosok yang akrab disapa Gus Solah itu melihat, pemilu yang dihelat pada 17 April lalu telah memunculkan kecenderungan untuk memperhadapkan antara Islam dan nasionalisme. Bahkan, pihak-pihak tertentu mempertentangkan keduanya secara frontal.

Baca Juga

Bagi Gus Solah, bangsa Indonesia lagi-lagi diajak untuk belajar dari situasi yang menurutnya kurang menyenangkan. Keadaan demikian sudah tampak sejak dimulainya tahapan awal hingga berakhirnya proses pemungutan suara.

Walaupun pemilu telah dilalui dengan relatif baik, masih ada kekuarangan di sana-sini yang mesti diperbaiki khususnya oleh penyelenggara pemilu. Gus Sholah juga berharap, situasi yang kurang menyenangkan dapat diakhiri dengan proses islah dari masing-masing pihak.

"Semoga kedua calon (presiden) dapat menahan diri dan menempatkan kepentingan bangsa dan negara diatas kepentingan pribadi kelompok dan golongan,” kata pengasuh Pondok Pesantren Tebu Ireng Jombang itu, dalam keterangan yang diterima Republika.co.id, Ahad (28/4).

Dia pun mengimbau agar masyarakat belajar dari sejarah. Sebab, menurutnya, baru kali ini bangsa Indonesia mengalami situasi pemilu yang tidak nyaman. Hal itu lantaran adanya upaya-upaya memperhadapkan antara Islam dan nasionalisme.

Gus Solah mencontohkan, usaha-usaha demikian pernah mengemuka pada masa dahulu, ketika NU, Muhammadiyah, dan ormas- ormas Islam lainnya serta partai Islam masih menghendaki Islam sebagai dasar negara.

Pada era Suharto, ketegangan itu tak muncul ke permukaan. Sebab, Orde Baru mencanangkan Asas Tunggal.

Selain itu, sejumlah ketentuan hukum Islam juga sudah diakomodasi melalui pelbagai undang-undang dan peraturan presiden.

 

Konteks Kini

Adapun persoalan hari-hari ini, lanjut Gus Solah, dapat dikatakan bermula sejak gegap-gempita menjelang Pemilihan Gubernur (Pilgub) DKI Jakarta pada 2017 lalu. Saat itu, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok melontarkan kata-kata yang dianggap menghina Islam. Sebagai respons, pelbagai kalangan umat tidak terima, sehingga memunculkan pertentangan.

Oleh karena itu, Gus Sholah meneruskan, alangkah baiknya bila seluruh elemen bangsa dapat lebih bijak dalam bersikap. Khususnya, bagi para elite politik. Mereka pun harus berhati-hati dalam melontarkan pernyataan ke publik.

"Ke depan, semua elemen bangsa ini harus menghindari pernyataan-pernyataan atau berbagai sikap politik yang bisa memunculkan kembali ketegangan (antara) Islam dan Indonesia," ujar dia.

"Keterpaduan antara Islam dan Indonesia jangan diganggu-ganggu lagi dengan pernyataan atau sikap politik yang bisa justru bisa memicu persoalan baru di tengah persatuan bangsa ini,” sambung Gus Solah menegaskan.

Kepada para wisudawan dan wisudawati (Unissula) Semarang, Gus Sholah berpesan untuk tidak lupa mengembangkan diri. Apalagi, kini Indonesia memasuki era revolusi industri 4.0 dengan pelbagai tantangan yang kian tidak ringan.

"Para lulusan yang diwisuda ini, harus senantiasa meningkatkan kompetensi dan mutu serta kecepatan dan ketepatan pelayanan dalam menghadapi era disruptif ini," kata Gus Solah.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement