REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pada Mei 2018 Hakim Agung Artidjo Alkostar resmi purnatugas. Praktis sepanjang tahun 2018 rombongan terpidana kasus korupsi silih berganti mengajukan upaya Peninjauan Kembali (PK) ke Mahkamah Agung.
Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat setidaknya 24 terpidana kasus korupsi yang ditangani oleh KPK mengajukan upaya hukum luar biasa itu. PK sejatinya memang merupakan hak dari narapidana yang dijamin oleh undang-undang. Akan tetapi tak jarang PK justru dimanfaatkan oleh pelaku korupsi sebagai “jalan pintas” agar terbebas dari jerat hukum.
"Data ICW menyebutkan bahwa sejak tahun 2007 sampai tahun 2018 ada 101 narapidana yang dibebaskan, 5 putusan lepas, dan 14 dihukum lebih ringan daripada tingkat pengadilan sebelumnya pada fase peninjauan kembali," kata peneliti ICW, Lalola Easter di Kantor ICW Jakarta, Ahad (28/4).
Padahal, dalam pasal 263 ayat (2) KUHAP telah tegas mengatur mengenai syarat jika seseorang ingin mengajukan PK, yakni: 1) Apabila terdapat keadaan/novum baru; 2)
putusan yang keliru; 3) kekhilafan dari hakim saat menjatuhkan putusan.
Namun dalam beberapa kesempatan syarat itu kerap diabaikan, sehingga putusan yang dihasilkan dinilai jauh dari rasa keadilan bagi masyarakat. Hal lain juga yang cukup penting adalah terpilihnya Suhadi menjadi Ketua Kamar Pidana MA.
"Yang mana diketahui bahwa ia mempunyai rekam jejak buruk ketika menyidangkan pelaku korupsi. Tahun 2013 lalu, ia membebaskan terpidana korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia, Sudjiono Timan. Padahal saat
mengajukan PK Sudjiono Timan berstatus buron pasca divonis 15 tahun penjara dan berkewajiban membayar uang pengganti sebesar Rp 369 miliar di tingkat kasasi," ucap Lalola.