Senin 29 Apr 2019 15:22 WIB

Cina Buat Daftar Tanda-Tanda Ekstremis untuk Muslim Xinjiang

Cina berusaha menghubungkan kerusuhan antara Muslim Cina dengan gerakan ekstremis.

Rep: Rizky Jaramaya/ Red: Nur Aini
Para peserta didik kamp pendidikan vokasi etnis Uighur di Kota Kashgar, Daerah Otonomi Xinjiang, Cina, belajar menjahit pakaian, Jumat (3/1/2019).
Foto: ANTARA FOTO/M. Irfan Ilmie
Para peserta didik kamp pendidikan vokasi etnis Uighur di Kota Kashgar, Daerah Otonomi Xinjiang, Cina, belajar menjahit pakaian, Jumat (3/1/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING -- Cina menetapkan sekitar 48 daftar tanda seseorang melakukan tindakan ekstremis, dan dapat membuat pelakunya dimasukkan ke pusat pendidikan dalam batas waktu yang ditentukan. Salah satu dari 48 daftar seseorang melakukan tindakan mencurigakan yakni memiliki kompas, menyuruh seseorang untuk berhenti merokok, dan sarapan terlalu dini. 

Daftar yang tampaknya tidak berbahaya itu telah dikumpulkan bersama catatan lainnya pada sebuah bab dalam Australian National University's 2018 China Story Yearbook. Catatan tersebut menyoroti tentang perampasan hak bangsa Asia terhadap Muslim di Xinjiang. 

Baca Juga

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyatakan, sekitar satu sampai dua juta etnis minoritas Uyghur Cina yang merupakan komunitas Muslim telah menghilang. Dosen senior untuk program studi Cina di Universitas Adelaide, Gerry Groot mengatakan, mereka telah dikirim ke tempat yang disebut sebagai fasilitas pendidikan kejuruan dan sejumlah penjara setelah dilakukan pemeriksaan oleh polisi secara acak. 

"Banyak dari orang-orang ini akan terjebak di sana selama bertahun-tahun dan melakukan kerja keras dengan kedok pendidikan," kata Groot, dilansir New Zealand Herald, Senin (29/4).

Groot mengatakan, peristiwa yang terjadi di Xinjiang merupakan hasil dari Partai Komunis Cina yang tidak tahu bagaimana menghadapi agama minoritas yang berada di negara tersebut selama beberapa dekade. Dalam China Story Yearbook menjelaskan bahwa mayoritas etnis Han Cina pergi ke Xinjiang, dan terjadi perkawinan antar-etnis selama beberapa dekade, sehingga menciptakan beberapa etnis di wilayah tersebut.

Etnis Uyghur sekarang berjumlah 46 persen dari pepulasi di Xinjiang, di mana dahulu mereka pernah menjadi mayoritas. Etnis Uyghur sempat terlibat dalam sejumlah serangan teroris, termasuk serangan stasiun kereta massal pada 2014 yang menewaskan 31 orang dan menimbulkan ketegangan terhadap Muslim Cina.

Sejak serangan 11 September 2001 di Amerika Serikat (AS), Groot mengatakan, Pemerintah Cina telah berusaha untuk menghubungkan kerusuhan antara Muslim Cina dengan gerakan Islam radikal asing. Menurut Groot, hal itu membantu menjelaskan mengapa kebijakan kontroversial terhadap Muslim Cina berada pada tingkat yang mengkhawatirkan. 

"Tidak ada minat terhadap perubahan di China, mungkin itu memiliki dukungan yang luar biasa sejauh orang kebanyakan tahu tentang apa itu," kata Groot. 

"Hampir tidak ada dukungan untuk Uyghur di antara populasi umum karena Partai Komunis dan, khususnya, (pemimpin Cina) Xi Jinping, telah memframing ini sebagai krisis eksistensial," lanjut Groot. 

Tidak hanya itu, Groot mengatakan bahwa contoh kecaman internasional sangat sedikit. Bahkan negara-negara Islam terkemuka seperti Pakistan dan Arab Saudi turut mendukung tindakan Cina. Groot menyampaikan tindakan keras terhadap upaya "de-fang" agama minoritas, termasuk Kristen oleh Partai Komunis. 

Hal tersebut merupakan upaya untuk menghentikan mereka membentuk identitas sendiri. Ketakutan itu seperti apa yang terjadi pada bekas Uni Soviet pada akhir 1980-an ketika nasionalisme negara-negara Eropa Timur memisahkan blok itu.

"Ketakutan terhadap nasionalisme internal, perpecahan, atau apa pun yang terjadi di Uni Soviet telah menjadi pendorong kebijakan yang sangat kuat di Cina dan kami telah melihat perluasan kebijakan untuk pembongkaran masjid. Jumlah masjid yang dihancurkan telah meningkat," kata Groot. 

Agama telah dilihat sebagai kekuatan eksternal dan destabilisasi di Cina selama beberapa dekade. Groot mengatakan, sejumlah warga yang terlibat dalam unjuk rasa Lapangan Tiananmen 1989 di mana ribuan demonstran terbunuh, telah beralih ke agama Kristen. Selain itu, selama bertahun-tahun, banyak dari mereka yang mendorong perubahan politik juga menemukan agama melalui perjuangan mereka.

"Jadi, partai melihat agama itu sendiri sebagai bagian dari masalah. Jika Anda percaya pada Tuhan maka Tuhan di atas partai dan itu adalah masalah dan mereka harus dihancurkan. Anda tidak dapat memiliki visi moral yang berbeda, Anda hanya dapat memiliki visi moral yang mendukung," ujar Groot. 

Berikut beberapa tanda-tanda yang digunakan sebagai pemicu oleh pejabat Pemerintah Cina untuk membenarkan seseorang dikirim ke kamp pendidikan, di antaranya memiliki tenda, memberitahu orang lain untuk tidak bersumpah, dan berbicara dengan seseorang yang telah bepergian ke luar negeri. Selain itu, tanda lainnya yakni memberitahu orang lain untuk tidak berbuat dosa, memiliki makanan tambahan, mengenakan jilbab (jika berusia di bawah 45 tahun), pergi ke masjid, puasa, dan mendengarkan ceramah agama. 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement