Selasa 30 Apr 2019 09:08 WIB

Pengamat: Unjuk Rasa Polisi tidak Dibenarkan

Video aksi unjuk rasa polisi di Halmahera Selatan viral di media sosial.

Rep: Mabruroh/ Red: Andri Saubani
[ilustrasi] Personel Korps Brimob Mabes Polri mengikuti apel gelar pasukan.
Foto: Antara/Aprillio Akbar
[ilustrasi] Personel Korps Brimob Mabes Polri mengikuti apel gelar pasukan.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Video polisi melakukan aksi unjuk rasa di Halmahera Selatan, Maluku Utara viral di media sosial. Mereka menuntut agar upah pengamanan Pemilu 2019 segera dibayarkan.

Menurut Pengamat Kepolisian dari Institut for Security and Strategic Studies (ISESS), Bambang Rukminto, aksi demo tersebut tidak dapat dibenarkan. Karena, menurutnya, dengan menjadi anggota kepolisian, mereka telah dilarang untuk melakukan unjuk rasa atau demo.

Baca Juga

“Unjuk rasa anggota kepolisian tentunya tak bisa dibenarkan. Lalu, kepada siapa anggota polisi harus mengadu?” ujar Bambang dalam siaran pers yang diterima Republika pada Selasa (30/4).

Ia menjelaskan, anggota polisi terikat dengan Catur Prasetya yang secara implisit melarang polisi melakukan unjuk rasa. Unjuk rasa dipahami juga sebagai gangguan keamanan.

“Jadi ketika anggota kepolisian berunjuk rasa, artinya dia sudah keluar dari janjinya dalam Catur Prasetya,” terangnya.

Masalahnya, kata Bambang, sebagai warga negara anggota polisi pun memiliki hak bersuara yang tidak dapat dikesampingkan. Namun permasalahannya, di mana mereka harus menyampaikan argumentasinya tersebut.

Propam dan Irwasum, menurutnya cenderung lebih kepada permasalahan penegakan disiplin dan etika anggota. Sedangkan dengan permasalahan hak anggota, menurut Bambang memang sampai saat ini belum ada mekanisme yang mengatur.

“Akibatnya bagaimana bila atasan bertindak sewenang-wenang pada anggota? Siapa yang mengawasi ?” kata dia.

Kompolnas, lanjutnya, sebagai lembaga yang diharapkan menjadi pengawas kepolisian pun masih belum bisa diharapkan lebih kinerjanya. Karena, komposisi Komisioner Kompolnas lebih banyak diisi purnawirawan Pati Polri, sehingga tidak banyak memberi peran pada pihak-pihak yang lebih netral dan independen.

“Akibatnya tak banyak yang bisa diharapkan bagi anggota kepolisian untuk mengadu bila ada hal-hal yang keluar dari koridor,” kata dia.

Mengenai permasalahan demo anggota kepolisian di Polres Halmahera lantaran belum turunnya honor pengamanan pemilu, kata Bambang, menunjukkan ada yang salah dalam manajemen kepolisian. Namun, tidak lantas kemudian diselesaikan dengan unjuk rasa dari anggota.

“Perlu melakukan evaluasi, mengapa hal itu bisa terjadi. Banyak hal yang mungkin menjadi penyebab, mulai menurunnya etika profesi anggota kepolisian, ketidak pahaman pada janji kepolisian yang tertulis dalam Tribrata dan Catur Prasetya, sampai pada ketidakpuasan anggota pada organisasi,” kata dia.

Jargon polisi profesional, modern dan terpercaya menurutnya, tidak akan berfungsi tanpa ada transparansi, termasuk transparansi pengelolaan keuangan organisasi. Anggota kepolisian juga memiliki hak untuk tahu.

“Tanpa ada keterbukaan, akan muncul kesalahan persepsi yang bisa berkembang liar, seperti yang terjadi di Halmahera ini,” ucapnya.

 

Tantangan kepolisian di era 4.0, salah satunya adalah soal kepercayaan ini. Menurut Bambang, membangun public trust tidak akan bisa dilakukan tanpa ada kepercayaan dari internal.

“Dan lagi-lagi, di era keterbukaan informasi saat ini, transparansi adalah keharusan yang tak bisa ditunda-tunda lagi,” kata Bambang.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement