Selasa 30 Apr 2019 09:45 WIB

Warga Sri Lanka Tanggapi Beragam Soal Larangan Cadar

Undang-undang larangan cadar mulai berlaku Senin (29/4).

Rep: Rossi Handayani/ Red: Ani Nursalikah
Seorang Muslim Sri Lanka dan putranya berjalan setelah dari pasar di Kolombo, Sri Lanka, Senin (29/4). Sri Lanka resmi melarang penggunaan cadar.
Foto: AP Photo/Eranga Jayawardena
Seorang Muslim Sri Lanka dan putranya berjalan setelah dari pasar di Kolombo, Sri Lanka, Senin (29/4). Sri Lanka resmi melarang penggunaan cadar.

REPUBLIKA.CO.ID, KOLOMBO -- Keputusan melarang penutup wajah, sepekan setelah serangan bom pada hari Paskah di Sri Lanka mendapat tanggapan yang beragam. Para aktivis menyatakan langkah itu melanggar hak perempuan Muslim untuk mempraktikkan agama mereka secara bebas.

"Ini tidak bisa diterima. Ini merupakan pelanggaran terhadap hak mereka menjalankan agama mereka secara bebas. Mereka harus menjadi pemangku kepentingan utama dalam diskusi ini," kata aktivis hak-hak perempuan Tehani Ariyaratne, dilansir di Aljazirah, Selasa (30/4).

Baca Juga

Undang-undang larangan cadar mulai berlaku Senin (29/4). Namun, tidak secara khusus menyebutkan burqa, niqab, atau jilbab yang dikenakan oleh banyak wanita Muslim. Burqa merupakan pakaian luar yang menutupi seluruh tubuh dan wajah. Niqab adalah kerudung yang juga menutupi wajah. Sedangkan jilbab hanya menutupi rambut.

"Larangan itu untuk memastikan keamanan nasional. Tidak seorang pun harus menutupi wajah mereka untuk membuat identifikasi menjadi sulit," kata pernyataan dari Presiden Sri Lanka Maithripala Sirisena.

Badan teratas cendekiawan Islam Sri Lanka, All Ceylon Jamiyyathul Ulama (ACJU), mendukung langkah itu dengan alasan keamanan. Sheikh Arkam Nooramith dari ACJU mengatakan, organisasinya telah membahas masalah ini dengan Kementerian Kehakiman.

"Kami telah meminta agar diberi waktu lebih lama dan apa pun kekhawatiran yang dimiliki kementerian sehubungan dengan apa yang mungkin dalam norma-norma agama kami. Maka kami akan memandu komunitas Muslim," kata Nooramith.

Salah satu pendiri Soup Kitchen Sri Lanka, Qaanita Razeek (33), yang juga menggunakan niqab mengaku kurang setuju dengan peraturan yang telah dikeluarkan pemerintah. Ia juga sudah lama telah mengenakan penutup wajah.

"Sementara saya mengerti ada perbedaan pendapat ilmiah tentang pemakaian cadar. Saya membuat pilihan untuk mengenakan niqab 16 tahun yang lalu. Meminta saya untuk melepaskannya sekarang seperti meminta melepaskan identitas saya," ucap Razeek.

Anggota Parlemen dari Partai United National yang berkuasa, Harshana Rajakaruna, menyatakan, undang-undang itu akan diterima dengan positif oleh Muslim. Menurutnya, banyak yang mengatakan penggunaan niqab tidak pernah menjadi bagian dari budaya Sri Lanka.

"Saya telah berbicara dengan anggota komunitas Muslim, mereka berkata, 'Kami tidak pernah memiliki budaya penutup wajah ini di Sri Lanka, ini adalah sesuatu yang telah datang ke komunitas kami melalui pengaruh 10 hingga 15 tahun terakhir'," ujar Rajakaruna.

Dosen senior, Departemen Hukum Universitas Peradeniya, Kalana Senaratne mengatakan, larangan niqab harus disambut terutama jika ini menandai perubahan dalam masyarakat Sri Lanka menuju etos yang lebih sekuler. Namun, jika pelarangan itu dimotivasi oleh kebencian, itu akan memiliki dampak yang negatif terutama pada komunitas Muslim dalam jangka panjang.

"Keamanan tidak dapat ditingkatkan hanya dengan melarang niqab. Ini harus dikaitkan dengan tujuan yang lebih luas dari sekularisasi masyarakat Sri Lanka, yang pada gilirannya mengharuskan kelompok etnis dan agama lainnya, termasuk mayoritas Buddha Sinhala, untuk memikirkan kembali dan mereformasi komunitas mereka sendiri," ujar Senaratne.

"Saya mengerti, bagaimana menghindari niqab akan membantu meredakan beberapa ketakutan. Tetapi akankah mereka berhenti pada apa yang telah ditentukan oleh pemerintah yaitu melarang niqab atau akankah mereka melangkah lebih jauh?" ujar seorang aktivis sosial terkemuka yang berbasis di Kolombo, yang tidak menyebutkan nama sebenarnya.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement