REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Roem Rowi
Puasa itu secara bahasa menahan. Menahan apa pun bisa dikatakan shiyam atau shaum, yang diterjemahkan dengan puasa. Oleh karena itu Maryam pernah berpuasa dan diabadikan dalam Al-Quran. Puasa untuk tidak bicara sejak hamil/mengandung calon bayi yaitu Isa AS. Inni nazartulirrahmani shauman falan ukallimalyauma insiyyaa. Nazar kepada yang Maha Penyayang dan Pengasih. Puasa yaitu tidak akan berbicara kepada siapa pun.
Secara syar'i yaitu menahan makan dan minum serta hubungan seksual pada siang hari bulan Ramadhan. Lebih jauh intinya puasa itu ada dua hal yakni menahan nafsunya perut dan nafsu bawahnya perut (nafsu seks).
Meskipun tidak berhenti di situ, yang dapat dipandang utama adalah dua hal ini. Segala apa yang masuk ke dalam perut adalah membatalkan puasa. Kalau tangan berbuat maksiat tidak membatalkan puasa nah disinilah nilai pahalanya. Jadi intinya puasa yaitu menahan tuntutan nafsu perut dan nafsu seks.
Masalahnya mengapa dua nafsu itu mendapat perhatian khusus dari puasa? Ternyata di antara rahasianya bahwa tuntutan dua nafsu itulah yang seringkali menentukan perilaku. Karena tuntutan perut manusia bisa mencuri, bisa merampok, bisa menggarong, bisa korupsi dan sebagainya. Begitu juga tuntutan seks. Karena tuntutan seks manusia bisa berbuat jahat, tindak kriminal, bahkan membunuh sesama.
Hal ini menentukan bahwa tuntutan dua itu sangat membentuk perilaku juga dalam bentuk yang positif. Karena tuntutan perut mengajak siap untuk bekerja. Memeras keringat, banting tulang, siang menjadikan malam, malam jadikan siang. Juga karena kebutuhan seks. Sehingga seakan-akan bahwa kalau kita mampu mengendalikan dua tuntutan yang sangat menentukan perilaku kita itu maka tentu akan mampu mengendalikan tuntutan-tuntutan yang lain.
Karena, tuntutan yang lain tidak lebih hebat dari dua tuntutan itu. Apalagi kita mencermati hari ini. Manusia itu ternyata tidak hanya puas dengan makan makanan biasa. Makan semen, makan baja, makan aspal, dan lain sebagainya.
Kalau kita kaitkan bahwa manusia itu sebenarnya baru manusia dan hanya manusia selama dia mampu mengendalikan dirinya, utamanya dua tuntutan itu dan tuntutan organ tubuh yang lain.
Kalau tidak mampu mengendalikan itu, manusia sebenarnya hanya tinggal nama. Namun perilakunya lebih buas, lebih serakah dari binatang buas. Hadits Rasulullah: Barang siapa yang bisa menjamin keselamatan tuntutan apa yang ada di antara dua jenggotnya dan tuntutan apa yang ada di antaranya dua pahanya maka dijamin baginya surga. Seakan-akan Rasulullah menegaskan bahwa surga itu bisa dibeli dengan kemampuan kita mengendalikan tuntutan perut dan seks.
Kalau kita tidak mampu mengendalikan dua tuntutan itu kita tidak akan pernah mendapatkan surga. Begitu pentingnya dua tuntutan ini maka islam mewajibkan puasa yang juga bisa disebut 'pelatihan wajib' setiap tahun, yang hasilnya seharusnya diaplikasikan dalam sebelas bulan yang lain. Kalau kita mampu mengendalikan diri kita dari yang halal saja pada bulan ramadhan maka pada bulan-bulan yang lain kita harus mampu mengendalikannya.
Jadi kita bisa mempuasakan sebelas bulas yang lain setelah dengan pelatihan wajib dibulan ramadhan. Jadi puasa tidak berhenti sampai di syawal. Puasa dalam bentuk itu berhenti tapi nilai puasa, esensi puasa dapat berlaku di bulan-bulan yang lain. Dengan demikian jelas nampak bahwa hakekat puasa adalah kebutuhan fitri manusia.
Kebutuhan fitri bahkan alam semesta. Karena jika manusia tidak mengendalikan dirinya maka resikonya akan dialami oleh alam yang akan ikut rusak oleh ulah manusia. Lebih-lebih hari ini manusia sudah menaklukan planet bumi ini dalam hitungan menit bahkan detik. Kemampuan seperti ini yang diperlukan dalam era modern seperti ini.