Rabu 01 May 2019 03:30 WIB

Regulasi Fintech Diperlukan untuk Jamin Kepastian Hukum

Regulasi penting untuk menahan risiko tindak kejahatan di industri fintech.

Menko Perekonomian Darmin Nasution dalam acara penyaluran Kredit  Usaha Rakyat (KUR) dengan skema khusus kepada sektor usaha garam rakyat di  Pamekasan, Madura, Jawa Timur Sabtu (13/4).
Foto: Biro Humas Kemenko Perekonomian
Menko Perekonomian Darmin Nasution dalam acara penyaluran Kredit Usaha Rakyat (KUR) dengan skema khusus kepada sektor usaha garam rakyat di Pamekasan, Madura, Jawa Timur Sabtu (13/4).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution mengingatkan perlunya regulasi untuk mendukung pelaksanaan industri teknologi berbasis finansial (tekfin/fintech) yang lebih menjamin kepastian hukum. Ini juga sekaligus melindungi konsumen dan mendorong inovasi.

"Rumus dasarnya adalah bahwa pengaturannya harus sederhana, ringan, dan fleksibel, supaya tidak mematikan start up, supaya tidak mematikan inovasi," kata Darmin saat memberikan sambutan dalam acara diseminasi mengenai mitigasi risiko fintech dan virtual currency di Jakarta, Selasa (30/4).

Baca Juga

Darmin menjelaskan regulasi maupun kebijakan itu harus ringan, dinamis, dan adaptif dengan era digital serta melindungi kepentingan nasional. Regulasi juga termasuk untuk mengantisipasi atau menangani tindakan terorisme dan pencucian uang.

"Kami memandang perlindungan kepentingan nasional harus dikaji secara serius, termasuk dalam penanganan terorisme dan pencucian uang," ujarnya.

Menurut dia, upaya ini menjadi penting karena penggunaan teknologi digital telah dimanfaatkan pada seluruh aspek kehidupan dan pembangunan, mulai dari sektor perdagangan, transportasi, pertanian dan keuangan. Sehingga, hal itu dapat menciptakan peluang bisnis dan meningkatkan inklusi keuangan.

Namun, di sisi lain, perkembangan teknologi digital dapat meningkatkan risiko tindak kejahatan berupa penyalahgunaan data pribadi, kejahatan siber, penyebaran hoaks dan ujaran kebencian, hingga praktik pencucian uang dan pendanaan terorisme. Sebagai contoh, salah satu isu terkait penyalahgunaan tekfin yang sedang marak adalah tindakan memecah transaksi (smurfing) menjadi kurang dari batasan threshold transaksi yang harus dilaporkan sebesar kurang dari Rp100 juta.

Selain itu, penggunaan mata uang virtual juga dianggap bermasalah karena mata uang virtual mempunyai sifat pseudonimity dari mekanisme transaksi yang dapat membuat pelaku transaksi tidak dapat diidentifikasi dan terawasi. "Untuk memitigasi risiko fintech dan virtual currency tersebut, tentunya pemerintah bersama BI dan OJK tidak dapat bergerak sendiri, karena kolaborasi dan peran aktif dari platform fintech juga diperlukan," katanya.

Upaya antisipasi dan mitigasi ini, kata Darmin, juga harus dilakukan dalam koridor adanya pemahaman mengenai lanskap, ekosistem, dan dinamika industri agar peraturan yang dikeluarkan tidak menghambat perkembangan teknologi digital yang makin pesat.

sumber : Antara
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement