Rabu 01 May 2019 09:14 WIB

Adaro Kembangkan Pasar Ekspor Batu Bara

Adaro melihat permintaan batu bara muncul dari beberapa negara.

Rep: Intan Pratiwi/ Red: Elba Damhuri
Presiden Direktur PT Adaro Energy Tbk Garibaldi Thohir (tengah) didampingi CFO PT Adaro Energy Tbk Lie Luckman (kiri) dan Wakil Presiden Direktur PT Adaro Energy Tbk Christian Ariano Rachmat (kanan) menjawab pertanyaan awak media seusai Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan (RUPST) di Jakarta, Selasa (30/4/2019).
Foto: Antara/Dhemas Reviyanto
Presiden Direktur PT Adaro Energy Tbk Garibaldi Thohir (tengah) didampingi CFO PT Adaro Energy Tbk Lie Luckman (kiri) dan Wakil Presiden Direktur PT Adaro Energy Tbk Christian Ariano Rachmat (kanan) menjawab pertanyaan awak media seusai Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan (RUPST) di Jakarta, Selasa (30/4/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tantangan perang dagang antara China dan Amerika juga kebijakan beberapa negara yang hendak mengembangkan energi terbarukan membuat PT Adaro Energy Tbk perlu memperluas pasar ekspor batu bara. Presiden Direktur Adaro, Garibaldi Tohir, menjelaskan perusahaan saat ini sedang meningkatkan pasar ekspor ke daerah seperti Vietnam dan Kamboja.

Boy, sapaan akrab Garibaldi, mengatakan Adaro melihat potensi pasar ekspor batu bara masih bagus meski beberapa pasar konvensional seperti Thailand dan China memang agak menurun permintaannya. Namun, kata Boy, beberapa negara tetangga juga sedang mengembangkan PLTU.

Baca Juga

"Jadi vietnam lagi bangun PLTU, Kamboja juga, Malaysia juga bangun, Filipina juga bangun. Bangladesh juga lagi bangun. Jadi secara overall, demand masih cukup adalah. Strong sih tidak, tapi demand ada," ujar Boy di Hotel Raffles, Selasa (30/4).

Meski begitu untuk pasar secara Global, Pasar Asia Tenggara masih merupakan pasar yang menjanjikan untuk batu bara. Garibaldi menjelaskan perusahaan masih optimistis pasar batu bara masih akan tetap bertahan karena batubara merupakan sumber energi yang paling ekonomis dan efisien.

"Terutama pertumbuhan ekonomi di kawasan Asia Tenggara, pertumbuhan di sini paling baik dibandingkan Eropa dan Amerika. Juga, dibandingkan Indonesia Timur. Jadi, kita memang selalu optimistis dan positif," ujar Garibaldi.

Wakil Presiden Direktur Adaro Energi, Christian Ario Rachmat, menjelaskan bahwa pasar konvensional memang harus diakui masih menurun. Selain persoalan tensi China dan Amerika yang masih tinggi, negara lain seperti Thailand saat ini sedang mengembangkan solar panel di banyak permukiman warga. Hal ini membuat kebutuhan energi di Thailand sudah didominasi oleh PLTS.

Adaro pada tahun lalu masih mencatat kinerja meyakinkan. Adaro membagikan dividen 200 juta dolar AS. Dividen yang dibagikan ini mengalami penurunan jika dibandingkan 2017. Pada tahun lalu, perusahaan membagikan dividen 250 juta dolar AS.

Penurunan besaran dividen ini juga sejalan dengan penurunan laba bersih yang dikantongi perusahaan. Jumlah dividen tunai tersebut termasuk dividen tunai interim sebesar 75 juta dolar AS yang telah dibayarkan pada 15 Januari 2018.

Sisa laba bersih akan disisihkan sebagai cadangan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 70 UU No. 40 tahun 2007 dan dialokasikan sebagai laba ditahan.

Adaro mencatat laba bersih 417 juta dolar AS atau hampir Rp 6 triliun pada 2018. Laba tersebut turun 13,5 persen dibanding 2017 yang mencapai 483 juta dolar.

Dari sisi pendapatan, perusahaan mencatat kenaikan dari 3,2 miliar dolar AS di 2017 menjadi 3,6 miliar dolar. Dari sisi beban ada kenaikan di mana beban lain-lain perusahaan menjadi 124 juta dolar AS di 2018.

Harga saham Adaro yang berkode ADRO di Bursa Efek Indonesia (BEI) pada penutupan perdagangan Selasa (30 April) sebesar Rp 1.305 per lembar.

Pada 2019 ini, Adaro akan fokus melakukan peningkatan produksi batubara kokas atau coking coal. Selain peningkatan produksi, Adaro juga akan membidik pasar pasar coking coal.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement