REPUBLIKA.CO.ID, CILEGON -- Pada tahun ini Krakatau Steel telah menandatangani kesepakatan Transformasi Bisnis dan Keuangan dengan Himpunan Bank Negara (Himbara) pada 22 Maret 2019. Kesepakatan ini dilakukan sebagai inisiatif untuk perbaikan kondisi keuangan dan restrukturisasi utang.
Adapun beberapa langkah transformasi bisnis yang akan dilakukan diantaranya penaataan kembali hutang perseroan, pelaksanaan Operational Excellence, divestasi kepemilikan saham Perseroan pada Anak Perusahaan Perseroan, penerbitan Convertible Bond dan penerbitan saham baru (Rights Issue). Langkah ini telah mendapat persetujuan RUPS 26 April 2019 lalu.
Direktur Utama Krakatau Steel Silmy Karim mengatakan perseroan akan memperbaiki keadaan ini segera dengan strategi transformasi bisnis dan keuangan yang saat ini sudah mulai berjalan.
“Kami harap dalam waktu dekat sudah mulai kelihatan hasilnya dan kondisi ini bisa berbalik menjadi lebih baik,” ujarnya dalam keterangan tulis yang diterima Republika, Kamis (2/5).
Krakatau Steel saat ini pun sudah menyelesaikan 93,73 persen konstruksi fisik dari pabrik Hot Strip Mill #2 (HSM#2) per 31 Maret 2019. Pabrik ini diproyeksikan mampu memproduksi produk HRC sebanyak 1,5 juta ton per tahun sehingga dapat meningkatkan volume penjualan terutama untuk produk Hot Rolled Coil (HRC). Pabrik ini direncanakan akan selesai pembangunannya pada kuartal II 2019.
PT Krakatau Steel (Persero) Tbk mengalami penurunan pendapatan sebesar 13,82 persen year on year (yoy) pada periode kuartal I 2019 sebesar 419 juta dolar AS dibandingkan pendapatan kuartal I 2018 sebesar 486,2 juta dolar AS. Hal ini akibat dari penurunan volume penjualan dan penurunan harga produk baja secara global.
Harga HRC per ton tertinggi tercapai 755 dolar AS pada Januari 2019 dan terendah 554 dolar AS pada Maret 2019 walaupun secara keseluruhan harga HRC berkisar antara 650 dolar AS – 700 dolar AS pada kuartal I 2019.
Walaupun secara umum terjadi penurunan volume penjualan 11,97 persen (yoy) menjadi 529.114 ton, termasuk diantaranya penurunan volume penjualan Cold Rolled Coil (CRC) 35,67 persen YoY menjadi sebesar 103.219 ton dan penurunan volume penjualan Wire Rod 77,30 persen (yoy) menjadi 8.644 ton, namun volume penjualan HRC meningkat 8,11 persen (yoy) sebesar 355.546 ton.
Fokus penjualan Krakatau Steel memang akan diprioritaskan pada produk HRC terlebih dengan akan segera beroperasinya HSM#2. Penurunan volume penjualan ini pun diiringi dengan penurunan harga jual produk termasuk HRC 2,24 persen (yoy) menjadi 643 dolar AS per ton dan Wire Rod 3,14 persen (yoy) menjadi 612 dolar AS per ton, namun tidak demikian dengan CRC yang meningkat 5,13 persen menjadi sebesar 739 dolar AS per ton.
Penurunan penjualan ini berpengaruh pada laba kotor sebesar 11,75 juta dolar AS, menurun dibanding periode sebeleumnya sebesar 66,79 juta dolar AS. Sementara rugi operasi Perseroan mencapai 36,2 juta dolar AS pada kuartal I 2019 dibanding dengan periode yang sama tahun lalu yang mencatat laba operasi 21,2 juta dolar AS.
Penurunan kinerja operasi ini dipengaruhi oleh lebih tingginya biaya operasi selama periode berjalan. “Kami akan terus menggenjot volume penjualan baja domestik diiringi peningkatan target untuk ekspor produk baja mulai tahun ini, terlebih Indonesia saat ini dapat dengan leluasa mengekspor produk baja ke Malaysia. Peningkatan target eskpor ke beberapa negara dan kerja sama steel trading dengan beberapa rekanan dapat membantu menaikkan volume penjualan tahun ini,” tambahnya.
Kondisi dan situasi pasar mulai kondusif dengan adanya peningkatan harga produk material baja di pasar masing-masing negara. Namun “Era Proteksionisme” global pada industri baja saat ini menjadi sebuah tantangan tersendiri yang juga harus dihadapi.
“Dengan kebijakan perdagangan yang mulai berpihak pada pasar domestik dan dengan adanya peningkatan pendapatan Anak Perusahaan maupun afiliasi setelah restrukturisasi Anak Perusahaan Perseroan, maka kami yakin kondisi ini akan berangsur pulih dan kami dapat kembali memperbaiki kinerja kami,” ucapnya.
Sebagai catatan, dari Januari hingga Desember 2018, permintaan produk baja di Indonesia cenderung meningkat dengan adanya peningkatan di sektor industri yang menggunakan material baja. Diantaranya sektor otomotif yang meningkat 7.99 perse dengan jumlah produksi mobil sebesar 1.152.641 unit per tahun (Gaikindo, Januari 2019). Hal ini diikuti dengan sektor konstruksi dan infrastruktur yang juga diproyeksikan akan semakin meningkat pada tahun ini.