REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peran Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ) dinilai perlu diperkuat dalam integrasi transportasi umum. Sebab, saat ini, BPTJ menjadi unit organisasi khusus yang bertugas mengelola, mengembangkan, dan meningkatkan pelayanan trasportasi secara terintegrasi di wilayah Jabodetabek masih memiliki wewenang terbatas.
Kepala BPTJ, Bambang Prihartono mengatakan, melihat hal tersebut yang paling memungkinkan yaitu berada langsung di bawah presiden. Namun, dengan menjadi lembaga pemerintah nondepartemen (LPND).
"Kalau itu dilakukan, tentu perlu semacam kerangka regulasi. Katakanlah semacam perppu kan, karena semua undang-undang sudah mengatur, kalau ini pengecualian perlu ada perppu," kata Bambang dalam acara “Menyoal Masa Depan Sistem Pengelolaan Transportasi Jabodetabek” di Hotel Grand Sahid, Jakarta Pusat, Kamis (2/5).
Jadi, kata dia, suatu perppu jika sudah menjadi sebuah keharusan, keadaan transportasi umum sudah dalam kondisi yang kritis. "Kalau saya bilang, transportasi (umum) sekarang sudah gawat darurat," kata dia menegaskan.
Ia menilai, saat ini visi ratio (VR) transportasi di Ibu Kota sudah mendekati angka satu. Sehingga, ia menjelaskan, hal itu menjadi indikator bahwa keadaan transportasi sudah dalam keadaan gawat darurat.
Bahkan, saat ini, kecenderungan kondisi makin menurun setelah Asian Games 2018. Menurut dia, ada dua bukti yang menunjukan kondisi tersebut. "Pertama, kantor saya kan di Jalan MT Haryono, Jakarta. Dulu, itu kemacetan di Semanggi, ekornya tidak pernah sampai kantor saya. Sekarang sudah sampai ke Cibubur," kata dia.
Bukti kedua, contra flow yang dulunya diberlakukan di Tol Cawang-Semanggi hanya sampai pukul 09.00 WIB. Namun, saat ini, waktunya malah ditambah hingga pukul 10.00 WIB. “Ini sudah menunjukkan kondisi transportasi kita yang sudah darurat,” ujar dia.
Pengamat hukum tata negara dari Universitas Tarumanegara, Ahmad Redi, mengatakan, meski saat ini BPTJ menjadi unit organisasi khusus yang bertugas mengelola, mengembangkan, dan meningkatkan pelayanan trasportasi secara terintegrasi di wilayah Jabodetabek. Namun, ia menyebut, saat ini BPTJ memiliki kewenangan yang terbatas.
"Sehingga sulit mengkoordinasikan semua pemda dan kementerian/lembaga terkait karena hanya setingkat pejabat tinggi madya," kata Redi.
Maka itu, kata Redi, untuk mendorong pengelolaan terintegrasi transportasi umum Jabodetabek, ia menyarankan tiga hal yang perlu dilakukan terkait dengan kinerja BPTJ. Sehingga peran BPTJ menjadi lebih kuat.
Pertama, Redi memaparkan, BPTJ secara kelembagaan sebaiknya dibentuk menjadi Lembaga pemerintahan nonkementerian (LPNK) yang berkedudukan di bawah presiden dan bertanggung hawab kepada presiden melalui menteri yang mengoordinasikan.
Kedua, kata dia, Rencana Induk Transportasi Jabodetabek (RITJ) perlu direvisi dengan memberikan kewenangan yang lebih besar kepada BPTJ. Sebab, saat ini, menurut dia, regulasi yang ada hanya mengatur fungsi BPJT sebagai tugas koordinasi.
Ketiga, pemerintah dapat mempertimbangkan membentuk peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) yang menjadi //omnibus law// transportasi Jabodetabek. Menurut dia, masalah transportasi Jabodetabek menjadi masalah yang genting karena menyangkut dampak besar pada perekonomian nasional, lingkungan hidup, kesehatan, dan ketenteraman masyarakat.
“Masalah transportasi Jabodetabek sifatnya genting dan serius, sehingga perlu pembenahan serius. Makanya pemerintah bisa membuat perppu yang memperkuat regulasi BPTJ,” kata dia.
Senada dikatakan Wakil Ketua Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Sudaryatmo. Ia mengatakan, kondisi transportasi di Jabodetabek sudah cukup mengkhawatirkan.
Pasalnya, pertumbuhan infrastruktur transportasi, seperti jalanan, lebih lambat daripada pertumbuhan kendaraan. Jumlah penduduk Jakarta pada 2014 sebanyak 10,8 juta orang dan terdapat 66 juta perjalanan. Sebesar 27 persen atau 17,8 juta menggunakan angkutan umum.
Dia menilai, dalam memenuhi mobilitas warga, Jakarta telah didukung infrastruktur jalan sepanjang 6.866 kilometer pada 2010 dan empat tahun kemudian bertambah menjadi 6.955 kilometer. Begitu pula dengan pertumbuhan jumlah kendaraan dalam lima tahun terakhir yang rata-rata mencapai 9,93 persen per tahun.
Sepeda motor menjadi penyumbang pertumbuhan tertinggi populasi kendaraan di Jakarta, yaitu sebesar 10,54 persen, disusul mobil penumpang 8,75 persen, dan mobil barang 4,46 persen. Sedangkan kendaraan bus hanya tumbuh 2,13 persen.
Menurut dia, perlu ada langkah-langkah pembenahan untuk menjadikan mobilitas warga Jakarta lebih efisien. Baik dari segi biaya maupun waktu tempuh dan mendukung kelestarian Iingkungan hidup. Di antaranya integrasi fisik, integrasi rute atau layanan, integrasi informasi, dan integrasi pembayaran.
"Integrasi menjadi penting. Integrasi fisik mestinya harus ada karena mobilitas masyarakat yang tinggi," kata Sudaryatmo.
Ia mencontohkan, integrasi fisik yang baik, hanya ada di Bundaran Hotel Indonesia. Sebab, di sana, kata dia, terdapat halte bus Transjakarta yang terhubung ke stasiun MRT. Kemudian, intergrasi layanan juga diperlukan untuk membuat nyaman masyarakat saat menggunakan transportasi umum.
Selain itu, dia menekankan, perlu adanya integrasi sistem informasi. Ia menyebut pihak penyelenggara transportasi umum seharusnya menyediakan informasi tambahan di sekitar stasiun atau halte. Informasi tersebut bisa berupa lokasi komersial, seperti mal, bahkan destinasi wisata seperti museum.
"Seharusnya integrasi informasi bukan hanya soal stasiun atau haltenya. Tapi tempat yang ada di sekitarnya. Di situ daerah komersial atau tidak. Misalnya di dekat Stasiun MRT Cipete, contoh ada Museum Basuki Abdullah. Seharusnya ada informasi juga soal tempat-tempat seperti itu," kata dia.