REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Pentagon merilis laporan tentang jumlah korban sipil yang tewas akibat serangan atau tindakan militer Amerika Serikat (AS) sepanjang 2018. Menurut Pentagon, terdapat 120 warga sipil tewas dan 65 lainnya luka-luka.
Pentagon mengatakan, korban tewas dari kalangan sipil itu tersebar di empat negara, yakni di Irak, Suriah, Afghanistan, dan Somalia. Ia mengklaim tak ada korban sipil yang tewas dalam aksi militer di Libya atau Yaman.
Juru bicara Pentagon Candice Tresch mengungkapkan, ini adalah tahun pertama laporan lengkapnya tidak diklasifikasi. “Meskipun korban sipil adalah bagian dari perang yang tragis dan tak dapat dihindari, tak ada kekuatan dalam sejarah yang lebih berkomitmen untuk membatasi bahaya bagi warga sipil daripada militer AS,” ujarnya pada Kamis (2/5).
Pada Maret lalu, Presiden AS Donald Trump menandatangani perintah eksekutif untuk mencabut kebijakan era pemerintahan Barack Obama yang mewajibkan pejabat intelijen AS melaporkan kematian warga sipil dalam serangan pesawat nirawak di luar zona perang aktif.
Kebijakan itu diberlakukan Obama pada 2016 sebagai bagian dari upaya mewujudkan transparansi tentang serangan pesawat nirawak atau drone. Kala itu, pesawat drone intens digunakan untuk menggempur milisi ISIS.
Kendati demikian, laporan yang dirilis Pentagon berbeda jauh dengan hasil temuan organisasi hak asasi manusia (HAM) Amnesty Internasional dan kelompok pengawas konflik Airwars. Dalam laporan yang diterbitkan pada akhir April lalu, Amnesty dan Airwars menyebut bahwa serangan militer yang didukung AS untuk mengusir milisi ISIS dari Raqqa, Suriah, sepanjang 2017, menewaskan lebih dari 1.600 warga sipil.
Pada Februari lalu, Misi Bantuan PBB di Afghanistan (UNAMA) melaporkan bahwa 1.185 warga sipil tewas selama operasi yang dilakukan oleh pasukan pro-pemerintah Afganistan, termasuk di dalamnya AS, pada 2018.
Menurut Pentagon terdapat perbedaan dalam penilaian korban sipil antara militer AS dan UNAMA. Ia mengklaim metodologi yang diterapkan berlainan.