REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Nidia Zuraya
Alquran merupakan kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Kitab suci bagi umat Islam ini mengandung hal-hal yang berhubungan dengan keimanan, ilmu pengetahuan, kisah-kisah, falsafah, serta peraturan-peraturan yang mengatur tingkah laku dan tata cara hidup manusia, baik sebagai makhluk individu maupun sebagai makhluk sosial.
Dalam menerangkan hal-hal tersebut, ada yang dikemukakan secara perinci, seperti yang berhubungan dengan hukum perkawinan dan warisan. Namun, ada pula yang dikemukakan secara umum dan garis besarnya saja. Yang diterangkan secara umum dan garis besarnya ini ada yang diperinci dan dijelaskan oleh hadis-hadis Nabi SAW. Selain itu, ada pula yang diserahkan kepada kaum Muslim.
Selain itu, agama Islam membuka pintu ijtihad bagi kaum Muslim dalam hal-hal yang tak diterangkan oleh Alquran dan hadis secara tegas. Pembukaan pintu ijtihad inilah yang memungkinkan manusia memberi komentar, keterangan, dan pendapat tentang hal yang tidak disebut atau yang masih umum dan belum terperinci dikemukakan oleh Alquran.
Nabi Muhammad SAW dan para sahabat beliau adalah orang-orang yang menjadi pelopor dalam hal ini, lalu diikuti oleh para tabi’in, para tabi’it tabi’in, dan generasi-generasi yang tumbuh dan hidup pada masa-masa berikutnya.
Pada zaman Rasulullah SAW, apabila para sahabat tidak atau kurang memahami suatu ayat Alquran, mereka dapat langsung menanyakannya kepada Rasulullah. Namun, sepeninggal beliau, apalagi setelah agama Islam tersebar luas ke luar Jazirah Arab dan memasuki daerah-daerah yang berkebudayaan lama, terjadilah persinggungan antara agama Islam dan kebudayaan lama.
Di samping itu, kaum Muslim sendiri menghadapi persoalan baru, terutama yang berhubungan dengan pemerintahan dan pemulihan kekuasaan terkait dengan makin meluasnya wilayah kekuasaan Islam.
Pergeseran dan persinggungan keperluan ini menimbulkan persoalan baru di kalangan umat Muslim. Persoalan baru itu akan dapat dipecahkan apabila ayat Alquran diterjemahkan, ditafsirkan, maupun ditakwilkan untuk menjawab persoalan-persoalan yang baru timbul itu.
Dari situlah kemudian tampil beberapa orang sahabat dan tabi’in untuk memberanikan diri menafsirkan ayat Alquran yang masih bersifat umum dan global itu sesuai dengan batas-batas lapangan berijtihad kaum Muslim.