Jumat 03 May 2019 08:31 WIB

Intervensi AS dan Rusia di Krisis Venezuela

Massa pendukung oposisi bentrok dengan pasukan keamanan dan militer Venezuela.

Kembang api dilempar demonstran antipemerintah Venezuela mendarat di dekat kendaraan lapis baja Garda Nasional Bolivarian di Caracas, Venezuela, Selasa (30/4).
Foto: AP Photo/Ariana Cubillos
Kembang api dilempar demonstran antipemerintah Venezuela mendarat di dekat kendaraan lapis baja Garda Nasional Bolivarian di Caracas, Venezuela, Selasa (30/4).

REPUBLIKA.CO.ID, MOSKOW -- Pemerintah Rusia mengkritik intervensi Amerika Serikat (AS) dalam gejolak politik Venezuela. Moskow menilai tindakan AS telah melanggar hukum internasional.

Kritik tersebut disampaikan saat Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov melakukan percakapan via telepon dengan Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo pada Rabu (1/5). Situasi politik, khususnya upaya perebutan kekuasaan oleh oposisi terhadap pemerintahan Presiden Nicolas Maduro, menjadi fokus pembahasan mereka.

Rusia menekankan bahwa intervensi Washington dalam urusan dalam negeri negara berdaulat dan ancaman terhadap pemerintahannya adalah pelanggaran paling kasar terhadap hukum internasional, kata Kementerian Luar Negeri Rusia dalam keterangan persnya terkait perbincangan Lavrov dan Pompeo, dilaporkan laman kantor berita Rusia, TASS.

Lavrov menegaskan, hanya rakyat Venezuela yang berhak menentukan nasibnya sendiri. Oleh sebab itu, dialog semua kekuatan politik di negara tersebut, yang telah lama diserukan oleh Maduro, sangat dibutuhkan. "Pengaruh luar yang destruktif, lebih-lebih pengaruh politik, tidak memiliki kesamaan dengan proses demokrasi," ujar Kementerian Luar Negeri Rusia.

Menurut Kementerian Luar Negeri Rusia, percakapan antara Lavrov dan Pompeo diinisiasi oleh AS. Perbincangan dilakukan menyusul kembali bergejolaknya Venezuela setelah pemimpin oposisi Juan Guaido menyerukan pemberontakan terhadap pemerintahan Maduro.

Sepanjang Selasa lalu, massa pendukung oposisi terlibat bentrok dengan pasukan keamanan dan militer Venezuela. Lebih dari 100 orang dilaporkan terluka dalam kejadian tersebut.

Guaido kembali menyerukan warga Venezuela agar turun ke jalan pada Rabu (1/5) dan melanjutkan aksinya. Namun, penyelesaian konkret masih belum jelas. Krisis bahkan dinilai semakin menunjukkan kebuntuan politik. Bahkan pada Rabu sore, banyak pengunjuk rasa mulai pulang ke rumah masing-masing.

Pada Rabu, awalnya unjuk rasa anti pemerintah dan pendukung pemerintah digelar secara damai. Namun, ada laporan tentang penembakan di Caracas.

Lembaga swadaya masyarakat setempat, Venezuelan Observatory of Social Conflict, menyebutkan, seorang wanita berusia 27 tahun tewas ditembak saat berunjuk rasa di kubu antipemerintah di Altamira. Laman BBC melaporkan, sekurangnya 46 orang cedera dalam bentrok pengunjuk rasa antipemerintah dan petugas keamanan.

Namun, Guaido mengakui, aksi demonstrasi melengserkan Presiden Nicolas Maduro tak memperoleh banyak dukungan dari militer. Pernyataannya tersebut berlawanan dengan yang telah diungkapkan pada Selasa lalu. "Kami mengakui, kemarin tidak ada cukup banyak orang, kami harus menegaskan bahwa semua angkatan bersenjata melakukan protes bersama," kata Guaido pada Rabu (1/5), dikutip laman CNN.

"Kami tidak meminta konfrontasi di antara saudara-saudara, kami hanya ingin mereka (militer) ada di pihak rakyat," ujarnya. (kamran dikarma/reuters ed:yeyen rostiyani)

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement