REPUBLIKA.CO.ID, SEOUL -- Pabrik-pabrik mobil di Korea Selatan (Korsel) meminta pemerintah mereka untuk menghentikan subsidi yang murah hati kepada pabrik-pabrik mobil listrik (EV) Cina. Sebab, menurut mereka perusahaan otomotif Cina berpotensi mengancam pabrik mobil lokal dan Beijing juga 'mendiskriminasi' mobil listrik yang dilengkapi baterai buatan Korsel.
Presiden Asosiasi Pabrik Otomotif Korea Jeong Marn-ki mengatakan pabrik mobil Cina dapat meningkatkan ekspor mobil listrik. Permintaan mobil domestik turun karena ada subsidi mobil listrik Cina. Negeri Tirai Bambu itu juga tengah kesulitan menjual mobil di dalam negerinya sendiri karena perang dagang dengan Amerika Serikat.
"Pabrik otomotif Cina, yang tengah kesulitan di negaranya sendiri, berharap dapat memalingkan diri mereka ke tetangganya pasar Korea," kata Jeoung, Jumat (3/5).
Korea Selatan negara asal Hyundai dan Kia menawarkan subsidi tertinggi untuk mobil listrik. Tahun lalu hampir 40 persen dari 16,5 juta dolar AS subsidi untuk produsen mobil listrik di Korea diambil pabrik mobil Cina termasuk BYD.
Namun di saat pabrik mobil Cina meningkatkan penjualan mobil listrik mereka di Korea, suku cadang baterai mobil listrik Korsel tidak memenuhi syarat subsidi di Cina. Jeong mengatakan Cina menciptakan pasar yang tidak merata untuk merek asing.
"Hubungan internasional harusnya berdasarkan prinsip kesetaraan, jika Beijing menggunakan pisau, kami juga harus menggunakan pisau," kata Jeong yang memimpin organisasi lobi untuk Hyundai, Kia dan pabrik mobil Korsel lainnya.
Berdasarkan data yang dikeluarkan asosiasi otomotif Korsel pabrik-pabrik mobil Cina telah memperkecil kesenjangan penjualan bus listrik dengan Hyundai. Di mana, mereka masing-masing mendapatkan subsidi sebesar 85.500 dolar AS. Jeong menambahkan kini pabrik mobil Cina seperti BAIC sedang mengincar pasar mobil listrik.
"Sepertinya Korea Selatan menggunakan uang pembayar pajak untuk memilihara industri mobil listrik Cina," katanya.
Jeong juga mengatakan ia berharap Amerika Serikat akan membebaskan Korsel dari potensi tarif kenderaan. Hal itu mengingat Negeri Ginseng itu telah membuat konsensi perdagangan otomotif dalam perjanjian dagang yang telah direvisi dengan Washington. Sebelumnya, Presiden AS Donald Trump mengancam akan menaikkan tarif kendaraan dan suku cadang impor sebesar 25 persen dengan alasan keamanan nasional.
"Saya optimistis dengan keputusan itu, tapi siapa yang tahu? Trump tidak bisa diprediksi," kata Jeong.