Merindu Aroma Kelezatan Ta'jil Nasi Mandhi Masjid Nabawi

Red: Muhammad Subarkah

Ahad 05 May 2019 05:01 WIB

Buka puasa di Masjid Madinah. Foto: Uttiek M Panji Astuti Buka puasa di Masjid Madinah.

Oleh: Uttiek M Panji Astuti, Traveler dan Penulis Buku

Datanglah ke masjid mana saja di waktu buka puasa Ramadhan di Indonesia. Niscaya akan terhidang makanan berbuka. Sekalipun sekadar takjil, teh hangat atau air mineral.

Di bulan Ramadhan, semua orang berlomba-lomba berbagi makanan untuk berbuka puasa bagi siapa saja. Karena janji pahala istimewa, seperti tersebut dalam hadis:

“Siapa memberi makan orang yang berpuasa, maka baginya pahala seperti orang yang berpuasa tersebut, tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa itu sedikit pun juga.” (HR. Tirmidzi no. 807, Ibnu Majah no. 1746, dan Ahmad 5: 192)

Tapi percayalah, suasana buka puasa tak ada yang bisa mengalahkan ifthar jama’i di Tanah Suci. Utamanya di kota Madinah. Yang sudah tersohor kemurahan hati penduduknya. Sejak zaman Rasulullah SAW.

Mereka adalah keturunan kaum Anshar. Yang keikhlasannya dalam memberi tak tertandingi. Yang ringan hati membagikan apa saja untuk saudara-saudaranya. Apalagi yang dijamu itu adalah para Dzuyufurrahman –tamu Allah-.

Seperti sore itu…

"Saya kemarin dapat ta'jil nasi mandhi. Disajikan dalam nampan besar dan baru dibagi-bagi sesaat sebelum adzan. Ayamnya sepotong besar."

Saya menelan ludah mendengar cerita salah satu teman serombongan yang disampaikan sesaat setelah tausiah sore itu.

Terbayang nasi beraroma rempah bercita rasa eksotik dengan potongan daging ayam yang empuk.

Di negeri asalnya, Yaman, nasi mandhi diracik menggunakan 16 jenis rempah sehingga memunculkan aroma yang khas.

Daging yang digunakan sebagai pelengkap bukan ayam, melainkan kambing. Daging kambing ini dimasak dalam tungku tradisional. Berupa lubang sedalam 1,5 meter berdiameter 80 cm.

Di dalamnya ditaruh kayu bakar yang telah membara. Daging ini dimasak di atasnya selama dua jam. Terbayang empuknya seperti apa.

Saya bertekad dalam hati, sore ini akan mencari ta’jil nasi mandhi. Seperti cerita yang saya dengar barusan.

Melewati gerbang Umar Bin Khatab, saya belok ke kanan, suasana terlihat riuh. Plastik-plastik yang digunakan untuk mengalasi karpet masjid telah digelar.

Baik di Masjidi Haram maupun di Masjid Nabawi, hanya keluarga-keluarga yang telah mendapat izin dari pemerintah Saudi yang boleh menggelar karpet dan membagikan ta'jil di lingkungan masjid.

Saya sangat terkesan dengan semangat keluarga-keluarga ini. Dari neneknya yang sudah sepuh, bahkan tak jarang berkursi roda, hingga bayi-bayi, semua dibawa serta untuk ifthar jama’i.

Barang yang dibawa tak tanggung-tanggung. Saking banyaknya harus menggunakan trolley. Begitu tiba, anak-anak gadis mereka akan membentangkan alas plastik selebar 50 cm, sepanjang “kapling” yang dimiliki.

Lalu yang lebih kecil akan membagikan roti, kurma, yoghurt, atau makanan apa saja yang telah dikemas, sehingga tak gampang tumpah. Ibu-ibunya akan berkeliling mengedarkan qahwa. Kopi Arab beraroma rempah yang sangat menyehatkan untuk buka puasa. Kopi ini rasanya tidak seperti kopi pada umumnya. Mungkin di lidah orang Indonesia lebih terasa seperti jamu.

Saya yang tidak kuat minum kopi, apalagi saat perut kosong setelah seharian berpuasa, tidak masalah meminumnya. Jadi ketagihan malah. Sampai sekarang. Tiap umrah, saya selalu membeli versi instannya di Bin Dawood untuk saya seduh di Jakarta.

Aroma roti hangat yang baru keluar dari oven menggelitik perut kosong siapa saja. Suasana ini betul-betul belum pernah saya rasakan sebelumnya.Di sepanjang karpet yang saya lewati, terlihat sorot mata dan sapaan ramah menawarkan supaya saya mau bergabung untuk buka bersama mereka.

Saya tersenyum sopan sebagai tanda penolakan. Sambil memotret dan menikmati suasana yang luar biasa itu, saya menajamkan pandangan mencari-cari karpet yang menawarkan nasi mandhi.

Sampai persis di depan gerbang, saya tidak menemukannya. Rata-rata ta'jil yang dibagikan adalah roti dengan yogurt sebagai condiment, yang dalam bahasa Arab disebut kahka, air mineral dingin, kurma, buah, cokelat, kacang dan aneka makanan kecil lainnya.

Ini serupa dengan ta'jil yang sering dibagikan di masjid-masjid di Jakarta berupa kolak pisang, kue-kue manis, risoles, lontong sayur. Kurang lebih seperti itu perbandingannya.

Senja semakin lindap. Langit kemerahan, pertanda Maghrib menjelang. Karena belum menemukan apa yang saya cari, saya putuskan untuk duduk di tangga teras masjid sambil menikmati suasana yang semakin riuh.

Seorang anak kecil datang memberikan segelas zam-zam, lalu anak perempuan lain menyodorkan roti dan yogurt, disusul gelas plastik berisi aneka kacang-kacangan.

Saya menerima semua dengan senyum tulus tanda terima kasih. Sambil memandang langit yang sangat bersih, saya bisikkan tanya, "Ya Allah, yang ada nasi mandhi di mana ya?"

Sore itu saya gagal mendapatkannya.

Keesokan harinya, saya masih penasaran ingin berbuka puasa dengan nasi mandhi. Sebenarnya bisa saja saya pergi ke salah satu restoran yang ada di sekitar hotel dan membelinya. Namun, selama di Tanah Suci saya tidak pernah mau keluar dari masjid menjelang berbuka. Waktu di mana doa-doa diijabah. Saya lebih memilih menikmati suasana yang luar biasa ini sambil memanjatkan doa dan membacakan doa-doa titipan para sahabat.

Kata suami saya, Lambang, kalau di tempat jamaah laki-laki banyak yang membagikan nasi mandhi. Bila terlihat sekelompok orang Pakistan, hampir dipastikan ada nasi mandhi yang dibagikan di situ.

Saya berpesan untuk mengambilkannya satu dan akan saya makan selepas shalat Tarawih nanti. Kita akan bertemu di restoran hotel.

"Tadi saya kirim pesan sudah diterima, Mbak?" tanya Pak Rustam, pemilik Khalifah Tour, travel yang mengantarkan saya untuk umrah Ramadhan ini, saat berpapasan di depan restoran hotel.

"Wah, maaf, Pak, handphone saya mati sejak tadi sore. Saya tidak keluar dari masjid, jadi belum terbaca. Ada apa ya?"

"Saya mau mengundang Mbak Uttiek dan Mas Lambang untuk makan malam di International Restaurant Movenpick malam ini."

"Sekarang, Pak? Dengan senang hati."

Di pintu restoran beberapa orang menyapa Pak Rustam. Sebagai pemilik biro umrah yang telah melakukan reservasi hotel sepanjang tahun, tentulah ia sangat dikenal di sini.

Pak Rustam mengajak saya dan Lambang menuju stall yang agak di belakang.

"Saya sangat merekomendasikan nasi mandhi yang ada di sini. Menurut saya, ini nasi mandhi yang paling enak," jelasnya dengan penuh semangat.

Deg!

Saya dan Lambang bersitatap. Di tangan Lambang ada kantong plastik berisi nasi mandhi yang diambil dari pembagian gratis di pelataran masjid, sesuai pesanan saya tadi.

Di depan saya terlihat satu wadah besar nasi berbulir panjang yang dimasak dari beras basmati. Hangat mengepul. Terlihat jejak warna kuning safron sebagai bumbu dan paha kambing muda yang begitu menggoda.

"Silakan, silakan. Ini yang kambing, ini yang ikan," lanjut Pak Rustam ramah.

Sambil berbincang tentang situasi dunia Islam saat ini, saya mengunyah nasi mandhi ini pelan-pelan. Terasa sangat pulen, dengan aroma rempah yang tidak terlalu kuat.

Daging kambingnya luar biasa empuk. Saat dipotong terlihat lelehan bumbunya yang dimasak oleh chef profesional. Disajikan dengan sejenis acar bawang merah, rasanya sungguh luar biasa.

Sekilas saya melirik kantong plastik berisi nasi mandhi yang dibawa Lambang yang diletakkan di kursi kosong di sebelahnya.

Saya diam terpaku. Sungguh, Allah Maha Mendengar dan selalu memberi lebih.

Saya hanya ingin nasi mandhi yang dibagikan gratis di pelataran masijd, Allah memberikannya dua sekaligus: yang satu betul dari pembagian gratis di masjid, yang satu hasil olahan chef profesional dari hotel berbintang lima yang harganya setara dengan 50 liter Pertamax.

Fa-biayyi alaa’i Rabbi kuma tukadzdziban ~Maka nikmat Rabb-mu yang manakah yang kamu dustakan? (QS Ar-Rahman).

Follow me on IG @uttiek.herlambang

Tulisan dan foto-foto ini telah dipublikasikan di www.uttiek.blogspot.com dan akun media sosial @uttiek_mpanjiastuti

 

Terpopuler