REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Cina selalu berusaha menanamkan pengaruhnya di wilayah Asia Tengah. Penguasaan atas wilayah Xinjiang pada masa modern ini merupakan upaya kelima kalinya.
Upaya pertama dilakukan pada masa Dinasti Han pada tahun 60 M untuk menghalau Bangsa Hun dengan menempatkan wakil kaisar Cina di Xin jiang untuk menjalin jalur perdagangan sutra dengan kerajaan Romawi Timur. Namun, kekuasaan Cina di wilayah itu segera digerogoti oleh berbagai suku Asia Tengah seperti Kushans, Hun, Turki, dan Mongol.
Pada masa Dinasti Tang (618-906) dicobalah upaya ambisius untuk menguasai kembali Transoxiana di Asia Tengah yang kini meliputi Uzbekistan, Tajikistan, Kirgistan, dan bagian selatan Kazakhstan. Upaya ekspansi dinasti dengan wilayah terbesar di Cina itu terbentur tembok besar yang membuat pengaruh Cina dan agama Buddha di kawasan itu lenyap selama seribu tahun. Halangan itu adalah kehadiran Dinasti Abbasiyah yang baru saja menggantikan Dinasti Umayyah di Arabia.
Peristiwa yang menyebabkan kekaisaran Cina melupakan Asia Tengah terjadi di Talas, perbatasan antara Kirgistan dan Kazakhstan, pada tahun 751 M. Ahli kebudayaan Cina L Carrington Goodrich menyebut Pertempuran Talas sebagai salah satu pertempuran yang menentukan dalam sejarah Cina.
Orientalis Rusia yang juga sejarawan Muslim Asia Tengah, Barthold, mengatakan bahwa peristiwa itu merupakan pertempuran dua peradaban, Cina dan Arab-Muslim, yang ingin menguasai wilayah Turkistan.
Lalu, bagaimana dua peradaban yang ibu kotanya terpisah 5.000 kilometer itu bisa bertemu di Asia Tengah? Jawabannya terletak pada riwayat keterlibatan Arab dan Cina di wilayah itu.
Sejak munculnya peradaban Islam dari Semenanjung Arabia pada abad ke-6, kecepatan penaklukan Arab pada masa awal sangat menakjubkan. Hampir dua dekade setelah kematian Nabi Muhammad tahun 632 M, seluruh Timur Tengah hingga utara Afghanistan jatuh ke dalam kekuasaan orang Arab, kecuali Asia Tengah yang dihuni oleh orang-orang Persia bersama suku pengembara Turki.
Tentara Arab mulai menguasai Asia Tengah dengan menyeberangi Sungai Oxus (sekarang Amu Darya) menuju Transoxania pada tahun 654. Berkuasanya Qutaiba Ibn Muslim menjadi gubernur Dinasti Umayyah di Khurasan pada tahun 705 membuktikan keberhasilan nyata orang Arab mencapai Asia Tengah. Hingga pada dekade berikutnya, Qutaiba menundukkan kota-kota dagang seperti Bukhara dan Samarkand, delta Oxus di Khurasan, dan sebelah selatan Laut Aral. Perlawanan di Transoxania meletus setelah kematian Qutaiba pada tahun 715.
Pada akhir periode Umayyah tahun 750, sebagian besar Transoxania —salah satu wilayah terkaya karena merupakan jalur perdagang an antara Eropa dan Cina—telah masuk ke dalam dunia Islam. Kedatangan orang-orang Arab di Asia Tengah menempatkan umat Islam berbenturan dengan Cina, yang telah hadir pada awal abad kedua SM dengan kerajaan-kerajaan kecilnya di Asia Tengah, khususnya di Turkistan (Xinjiang) dan wilayah jalan sutra, seperti Karashahr, Kucha, Aksu, Kashgar, Yar-Kand, dan Kfiotan.
Selama periode dinasti Tang pada 618 sampai 907, pengaruh Cina mulai menjangkau lebih jauh ke barat sehingga tradisi Cina mengkristal di daerah seperti Transoxania. Hubungan perdagangan dan diplomatis antara Cina dan Transoxania cukup kuat. Bahkan, setelah penaklukan Qutaiba ibn Muslim, raja-raja dan pangeran kecil dari Asia Tengah terus mengirimkan perwakilan mereka ke Cina dan mereka menerima imbalan dari kaisar Cina yang memerintah pada masa itu, yakni Hsuantsung. Pada awal abad ke-8, orang-orang Arab masuk lebih dalam menuju wilayah Persia dan suku Turki nomaden yang juga berada dalam pengaruh Cina.
Sebelum meletusnya pertempuran di Talas, orang-orang Arab dan Persia pada masa kekuasaan Dinasti Umayyah telah mengirimkan perwakilannya ke Chang’an (Xian), ibu kota Dinasti Tang. Salah satu sumber sejarah Cina mengungkapkan, Persia mengi rimkan 10 perwakilan antara tahun 713 dan tahun 755 (Persia menjadi bagian Dinasti Umayyah pada tahun 750) dan beberapa perwakilan Arab dikirim oleh gubernur Umayyah di Khurasan.